Connect with us

Ahriesonta.id

Terorisme-Radikalisme-Ekstrimisme, Tantangan Pemolisian Kini dan Kedepan

Ilustrasi radikalisme dan terorisme (istimewa/indonesiaberbicara.org).

Pengabdian

Terorisme-Radikalisme-Ekstrimisme, Tantangan Pemolisian Kini dan Kedepan

Terorisme telah menjadi fenomena menarik dalam instabilitas keamanan dunia. Tindakan teror, bagi kelompok radikal, dianggap sebagai aksi kongkrit sebuah isme atas ketidakpuasan terhadap status quo. Pengaruh terorisme tidak berbeda dengan isme komunis yang berusaha melancarkan perubahan tata dunia secara revolusioner di bawah kekuatan internasionalisme.

Seperti halnya itu, sulit untuk tidak ditemukan suatu teror yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan kejadian teror yang terjadi di negara lain. Seperti, teror bom dan senjata api pada 14 Januari 2015 di Pos Polisi perempatan Sarinah jalan M.H Thamrin Jakarta Pusat, yang berlangsung dalam kurun waktu berselang dua bulan dari serangan bom di kota Paris Perancis.

Rangkaian teror di Tanah Air berkorelasi dengan teror di belahan bumi lainnya juga dapat dikaji dari catatan sejarah teror bom dalam kurun dua dekade terakhir. Teror pada 11 September 2001 di New York Amerika Serikat (AS) atau lebih dikenal sebagai teror 9/11, telah menjadi viral bagi kelompok radikal di Indonesia. Setelah kejadian itu, di Indonesia terjadi teror pada tahun baru di rumah makan ayam Bulungan Jakarta, bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang, dan teror bom di restoran McDonald’s Makassar pada 5 Desember 2002.

Kejadian teror yang memakan korban sangat banyak juga terjadi pada tahun-tahun setelahnya, mencakup kejadian teror bom di J.W. Marriot pada 5 Agustus 2003, teror bom di Palopo, dan serangan terhadap Kedutaan Besar Australia.

Pasca peristiwa bom Bali pada tahun 2002, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah untuk menanggulangi ancaman terorisme. Polri kemudian membentuk satuan khusus anti teror yang kemudian diberi nama Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT).

Penanganan terorisme sepanjang dua dekade terakhir dilakukan Polri dengan sangat baik. Bukan hanya penanganan, tetapi juga tindakan yang bersifat pencegahan terhadap kantung-kantung kelompok radikal. Hasil dari operasi anti teror Polri melumpuhkan berbagai kantung teroris, yang sebelum tahun 2010 dimotori oleh kelompok Jamaah Islamiyah (JI).

Penanganan anti teror yang dilakukan Densus 88, telah melemahkan kelompok radikal JI. Hal ini ditandai dengan tertangkapnya para pimpinan JI, dan beberapa tewas di tempat penyergapan yang dilakukan Densus 88 AT. Para pentolan teror itu mencakup Dr. Azhari Husin (perakit bom Bali 1, bom hotel JW Marriot/2003, dan bom Kedubes Australia) yang tewas 9 November 2009 dalam penyerbuan Densus 88 di kota Batu Malang atau satu bulan setelah kejadian bom Bali 2.
Noordin M. Top (perakit bom Kedubes Australia, bom hotel JW Marriot dan hotel Ritz Carlton/2009) yang tewas pada 17 September 2009 dalam penyerbuan Densus 88 di kota Solo. Dulmatin (perakit bom Bali 1 dan bom Bali 2) yang tewas dalam penyerbuan Densus 88 di Pamulang Tanggerang Selatan pada 9 Maret 2010. Sementara itu para pelaku teror bom Bali 1 yang merupakan pengikut utama JI mencakup Imam Samudera, Mukhlas, dan Amrozi telah dieksekusi mati pada medio 2008.
Abu Bakar Ba’asyir yang merupakan tokoh spritual JI dan pendiri Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) telah dipenjarakan sejak Agustus 2010 hingga tulisan ini dibuat. Pengikut JI yang dekat dengan Dulmatin, yakni Umar Patek, juga telah ditangkap oleh Kepolisian pada Agustus 2011.

Penanganan anti teror yang dilakukan Polri dalam satu dekade tersebut, telah menghancurkan kekuatan kelompok teror di Indonesia. Setelah tahun 2009, kelompok-kelompok radikal betul-betul tefragmentasi atau terpecah belah. Meskipun sekarang ini, ada banyak sel radikal yang cukup berbahaya dari dilihat sisi ideologi, tetapi dari kapasitas melakukan aksi terorisme masih lemah.

Sejak tahun 2009 sampai sekarang ini misalnya saja tidak ada 1 bom yang meledak seperti semestinya setelah tewasnya Noordin M. Top. Dalam kurun waktu setelah kematian pemimpin JI, aksi kelompok radikal yang mengatasnamakan jihad eskalasinya semakin menurun.

Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, serangan kelompok radikal mengalami perubahan pola teror. Kelompok-kelompok radikal tersebut kini memiliki kecenderungan penyerangan dengan sasaran ditujukan terhadap aparat kepolisian. Dimulai dari serangan terhadap Mapolres Hamparan Perak Sumatera Utara pada 22 September 2010, yang teridentifikasi jaringan Noordin M. Top.

Bom Buku dilancarkan oleh Pepi Fernando pada medio Maret 2011 dengan beberapa target sasaran, dan sempat meledak di Utan Kayu. Serangan bom Cirebon pada 15 April 2011 yang teridentifikasi dilakukan oleh kelompok Tauhid wal Jihad. Penyerangan terhadap polisi terjadi di Solo pada dua minggu terakhir Agustus 2012. Pada bulan September 2012 penyerangan terhadap polisi juga terjadi di Tambora dan Depok. Bom bunuh diri juga pernah terjadi di Polres Poso yang teridentifikasi dilakukan oleh kelompok pimpinan Santoso.

Aksi radikal dengan modus perampokan juga menjadi pola yang dilakukan sel-sel radikal yang telah lepas dari induknya. Beberapa kejadian yang sempat dilancarkan meliputi, perampokan CIMB Medan yang dilakukan oleh jaringan Noordin M. Top pada April 2010. Perampokan Bank BCA Palu yang dilakukan kelompok pimpinan Santoso yang bermarkas di Poso. Pada Maret 2013, terjadi perampokan toko emas Tambora yang teridentifikasi dilakukan kelompok Abu Umar. Dalam kurun waktu yang bersamaan, aksi teror bom juga sempat dilakukan kelompok radikal terhadap tempat ibadah gereja, meliputi: bom pipa gas, BPIS Solo, dan gereja di Poso.

Penanganan teror oleh Kepolisian yang bersifat pencegahan dalam kurun waktu 2014 hingga 2015 juga mencatatkan keberhasilannya. Tindakan pencegahan itu meliputi pencegahan pengiriman dana ke kelompok teroris pimpinan Santoso dengan menangkap 2 pelaku. Penangkapan 12 orang jaringan ISIS pada tahun 2015. Kepolisian juga berhasil mencegah peledakan bom di Mall Alam Sutera dan pencegahan aksi teror di wilayah Tasikmalaya.

Selain itu, ada juga operasi di Jawa Tengah; penangkapan 4 orang di Jawa Timur; dan pencegahan aksi teror di Bekasi dengan menangkap 1 orang. Dalam kurun waktu tersebut, Polri telah menangkap 74 orang terduga teroris. Sebanyak 65 orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Jika diriview sejak kemunculan tindak terorisme dalam rentang waktu 15 tahun terakhir, Kepolisian telah berhasil mengungkap 171 kasus terorisme. []

Klik untuk komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 × 2 =

Ke Atas