Pengabdian
Kunci Polmas di Era Zaman Now
Di berbagai negara, terdapat beberapa perbedaan dalam implementasi community policing atau di Indonesia dikenal sebagai pemolisian masyarakat. Berikut ini disajikan perbandingan singkat community policing sebagai gambaran bagi pengembangan Polmas di Indonesia.
Pelaksanaan Polmas Siskamling selama ini tidak dapat optimal karena hal itu tidak dapat dikelola secara independen oleh kepolisian. Dalam Perkap No. 737 Tahu 2005 disebutkan bahwa untuk penyelenggaraan Polmas, secara umum harus melibatkan anggaran APBD yang harus dianggarkan oleh Pemda dan DPRD.
Pada perkembangan awal-awal Polmas melalui Perkap tersebut kepolisian di wilayah banyak yang mengusahakan dukungan dana, terutama untuk biaya operasional forum komunikasi Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM). Sementara itu pada tataran Pemda dan DPRD mengusahakan adanya dukungan alokasi anggaran untuk kegiatan atau proyek serta pemecahan berbagai permasalahan yang direkomendasikan oleh FKPM.
Peta penerapan model Polmas memang belum bisa terlihat secara gamblang pada fungsi apa ia telah benar-benar diterapkan. Sebagai sebuah strategi dan filosofi, idealnya, model ini ada pada seluruh fungsi pemolisian yang ada di POLRI. Ia tidak hanya diterapkan oleh salah satu fungsi, tetap ia ada dan menjadi prinsip kerja seluruh anggota POLRI.
Sejujurnya, Polmas di Indonesia masih pada batas pengenalan kepada anggota polisi. Untuk itu, POLRI telah secara serius memasukkan materi pemolisian masyarakat kedalam seluruh kurikulum pendidikan, mulai dari SPN hingga sekolah pimpinan POLRI. Dengan demikian, jika ingin melihat capaian dan indikator keberhasilan dari model ini, maka baru sebatas keberhasilan dari sisi pengenalan model kepada internal POLRI.
Mengacu pada Perkap dan sebelumnya telah disebutkan dalam Skep/432/ VII/2006 tanggal 1 Juli 2006 tentang Panduan Pelaksanaan Fungsi Operasional Polri dengan Pendekatan Polmas, bahwa implementasi Polmas bersifat menyatu dalam pelaksanaan tugas semua fungsi operasional Polri sebagai pengemban fungsi Intelkam, Reskrim, Samapta, Lalu Lintas, Pol Air dan Brimob.
Adapun arahan yang bersifat Polmas yang mempertimbangkan Hak Asasi Manusia adalah memperhatikan sikap & perilaku, menjunjung nilai sosial, saling menghargai antara polisi-warga, memperhatikan kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Dengan demikian, sudah jelas bahwa Polmas merupakan suatu tanggung jawab setiap satuan fungsi kepolisian di berbawai wilayah. Hanya saja pada prakteknya Polmas dianggap terlalu sulit untuk diselenggarakan oleh setiap fungsi, mengingat rasio polisi-masyarakat yang begitu besar, sehingga beban setiap orang polisi sudah berat.
Dari pemetaan arahan pelaksanaan Polmas, perlu suatu terobosan agar Polmas dapat diimplementasikan. Sebagaimana telah digambarkan sebelumnya, terdapat ruang improvisasi dalam peta landasan, aturan, dan arahan penyelenggeraan Polmas berdasarkan Perkap No. 7 Tahun 2008.
Selama ini ruang improvisasi yang dapat dilakukan terhambat budaya institusi kepolisian. Hambatan budaya yang selama ini masih melingkupi institusi kepolisian secara tidak langsung menjadi hambatan bagi berkembangnya pendekatan pemolisian pada setiap satuan fungsi polisi kepada masyarakat.
Organisasi modern mensyaratkan pentingnya suatu kepemimpinan untuk memberikan teladan yang baik. Sehingga praktek etika harus melalui pembiasaan yang dilatihkan. Maka hubungan-hubungan tersebut dapat diskemakan melalui gambar berikut.
Sebagai suatu cara menumbuhkan budaya yang baik harus ditempuh dengan memadukan dua pendekatan model berbasis kepatuhan dan berbasis integritas. Pada beberapa institusi kepolisian di berbagai negara, kedua model pendekatan inilah yang diharapkan mampu menciptakan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi.
Model berbasis kepatuhan (compliance-based model) yang ditandai dengan manajemen melalui aturan-aturan dan prosedur. Sedangkan, model berbasis integritas (integrity-based model) yang ditandai dengan manajemen dan kepemimpinan yang diukur melalui kepuasan publik dan warga masyarakat yang dilayani.
Dalam konteks Indonesia, penulis berpandangan bahwa realisasi hubungan polisi-warga yang diharapkan secara normatif dalam Polmas harus dapat dijembatani dengan suatu pendekatan teknologi. Poin ini merupakan suatu inisiatif yang dapat berkembang sebagai improvisasi Polmas.
Pendekatan teknologi yang dimaksud jika mengacu pada kegiatan Siskamling adalah bagaimana para pelaksana siskamling dapat memberikan laporan kepada kepolisian setempat. Pada sisi kepolisian, upaya ini disebut sebagai intensifikasi kontak. Sehingga, dengan komunikasi dua arah yang terbina akan menciptakan perasaan saling memiliki paling tidak terhadap kegiatan Polmas Siskamling tersebut.
Hal ini penting karena keberadaan Bhabinkamtibmas selama ini ibaratnya menjadi suatu perwakilan polisi di tengah-tengah masyarakat. Hal itu dapat berjalan karena merupakan suatu fungsional. Dengan keterbatasan SDM Polri akhirnya fungsi ini tidak berlaku optimal.
Hal yang paling berat menjadi tantangan Polri sebenarnya berada pada budaya internal kepolisian, yakni melunturkan paradigma lama kepolisian sebagai institusi yang menyandang misi memerangi kriminalitas. Hal ini terlihat dari perlombaan karir polisi pada fungsi mitigasi bukan mengedepankan harkamtibmas dan linyomyam.
Sepanjang hampir satudasawarsa tahun 2001-2009 hasil jajak pendapat Harian Kompas menguatkan indikasi masyarakat memandang polisi dengan citra buruk (62,9 persen hingga 38,6 persen).
Kondisi ini memberikan dampak negatif terhadap relasi polisi dan masyarakat. Polisi yang secara tidak sadar lebih menonjolkan kekuatan gakkum yang terinternalisasi dalam diri polisi. Kepolisian tidak saja menyandang suatu simbol gakkum, tetapi kewenangan yang dimiliki Polri merupakan suatu kekuasaan tertentu terhadap masyarakat.
Paradigma masyarakat yang demikian juga menjadi latar belakang yang membuat polisi cukup sulit untuk diterima kembali dalam pembinaan masyarakat/warga di lingkungan tertentu. Sehingga, sukup sulit bagi program seperti Siskamling dapat dibangun kembali dengan inisiasi polisi warga berdasarkan asas kebutuhan keamanan.
Intensifikasi kontak melalui teknologi perlu dirumuskan supaya dapat menjembatani ‘lubang besar’ yang pernah menghambat hubungan polisi-masyarakat.
Bentuk pendekatan teknologi yang dapat melahirkan intensifikasi kontak, dewasa ini dapat direalisasikan dengan membangun suatu aplikasi pelaporan pelaksanaan siskamling. Bentuk aplikasi semacam ini yang dapat dirujuk sebagai referensi, seperti aplikasi Pembangunan Kota QLUE, yang diterapkan di Jakarta. Warga Jakarta bisa melaporkan peristiwa yang berhubungan dengan infrastruktur ataupun masalah sosial melalui aplikasi ini.
Warga Jakarta hanya tinggal melakukan upload foto atau teks perihal dengan keadaan yang mereka lihat. Kemudian laporan tersebut akan masuk ke dalam situs http://smartcity.jakarta.go.id. Lalu laporan akan disebarkan ke satuan kerja perangkat daerah atau petugas harian yang berada di sekitar lokasi.
Hal yang sama dapat dilakukan oleh kepolisian guna menginisiasi pentingnya kamtibmas di lingkungan terdekat masyarakat. Dengan adanya urgensi pelaporan warga, maka Siskamling sendiri dapat dilakukan dengan lebih baik. Pembinaan polisi pada wilayah tugas terdekat dapat dengan cepat menyelenggarakan harkamtibmas secara lebih intensif dan lebih tertuju.
Intensifikasi kontak melalui layanan aplikasi sosial media internet seperti ini di berbagai negara juga telah dirintis. Beberapa aplikasi yang dapat dilihat di internet seperti, http://go.everbridge.com/, https://www.everyday-democracy.org/, https://www.niot. org/, dan http://www.urban.org/.
Dalam skema Improvisasi Melalui Intensifikasi Kontak, aplikasi memenuhi renggangnya hubungan polisi-warga. Sehingga lambat-laun akan mengikis permasalahan kultural, lubang besar sejarah, dan perubahan masyarakat.
Aplikasi yang secara integratif didistribusikan kepada setiap polisi di berbagai wilayah dan satuan fungsi dapat menjadi suatu jalur komunikasi (jarkom) dalam pemolisian masyarakat berbasis partisipasi warga.
Era digital yang mengalami kemajuan pesat dalam satu dekade terakhir, tentu semakin memberikan potensi daya dukung dan varian pengembangannya bagi upaya pemolisian. Dalam keterkaitan itu, pentingnya e-policing di Indonesia dapat dimulai dengan bagaimana Kepolisian mensikapi fenomena Indonesia sebagai negara pengguna internet terbesar keenam di dunia.
Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia-Puskakom UI (2015) mencatat pertumbuhan pengguna internet di Indonesia mengalami kenaikan yang sangat besar setiap tahunnya. Pada tahun 2013, jumlah pengguna internet sebanyak 71,2 juta jiwa mengalami peningkatan menjadi 88,1 juta jiwa pada tahun 2014 (tumbuh 28,6%).
Dengan profile demografi Indonesia seperti ini, polisi dapat berinteraksi dengan 88,1 juta jiwa secara real time. Komunikasi langsung yang dibuka Kepolisian mengikuti habitus masyarakat ini akan memungkinkan jangkauan polisi yang semakin luas dalam melayani masyarakat.
Pemanfaatan internet dalam kehidupan masyarakat juga mengalami perubahan yang sangat dinamis. Jika di awal kemunculannya internet baru digunakan untuk melakukan proses data secara online antar jaringan (network), dalam perkembangannya dimanfaatkan untuk transaksi keuangan dan perdagangan barang serta jasa melalui pemanfaatan internet.
Perdagangan barang kemudian dikenal dengan ecommerce, yang di Indonesia sendiri sudah familiar. Beberapa toko online yang akrab di masyarakat seperti situs toko online olx, blibli, tokopedia, dan sebagainya. Dalam kategori perdagangan jasa, banyak digunakan dalam sistem sewa dan komunikasi transportasi berbasis aplikasi.
Jika perlu disebutkan, jasa online berbasis alikasi tersebut seperti aplikasi ojek online Gojek, Grab Bike dan sebagainya, juga taksi dengan pemesanan online seperti Uber Taksi dan Grab Car. Aplikasi jasa yang lain berupa pemesanan atau booking hotel dan travel seperti Traveloka.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa internet telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Keberadaan telepon seluler (ponsel) yang dapat terkoneksi dengan internet, biasa disebut ponsel pintar atau gadget, semakin memudahkan setiap individu mengakses internet kapanpun dan dimanapun.
Teknologi internet telah memutus jarak dan waktu masyarakat untuk berinteraksi dalam tanpa terbatas.
Pemolisian di era digital yang sudah akrab bagi masyarakat berupa telepon melalui nomor 110 dan sms pengaduan melalui nomor 1717. Dalam perkembangannya, Kepolisian juga mengembangkan layanan informasi dan pelaporan melalui sosial media Twitter, seperti traffic management center (TMC) yang dikelola oleh Satuan Lalu Lintas di setiap wilayah.
Model pengaduan terhadap Kepolisian juga pernah dilakukan secara terpadu bersama lembaga pemerintah lain di bawah pengelolaan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) melalui situs Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR).
Lembaga Pirac dan Kemitraan mencatat bahwa dalam lima tahun penyelenggaraan pengaduan online LAPOR digunakan oleh 260.000 pengguna dengan rata-rata 1.000 laporan setiap harinya. Dalam hasil evaluasi tersebut, Kepolisian menempati urutan ketujuh sebagai lembaga yang dituju oleh masyarakat pengadu.
Dengan respon penanganan 250 perkara diselesaikan, 200 perkara masih diproses, dan 214 perkara belum ditindaklanjuti. LAPOR sebagai inisiasi model pengaduan masyarakat berbasis online merupakan pelajaran penting bagi Polri, meskipun model ini mengalami kendala karena setiap pengaduan memerlukan disposisi dari pengelola kepada masing-masing lembaga. Akibatnya, respon pelayanan yang masih lambat bukan mutlak sebagai kualitas layanan setiap lembaga. []