Connect with us

Ahriesonta.id

Mitos Akal Sehat dari Ekspresi Politik

Ilustrasi mitos akal sehat. (Sumber: wkremaja.blogspot.com)

Pemikiran

Mitos Akal Sehat dari Ekspresi Politik

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul “Obrolan Soal Ekspresi Politik Masyarakat dan Dialektika Wacana”. Di bagian akhir tulisan tersebut saya mengajukan sebuah pertanyaan, apakah dialektika wacana dapat menggeser pilihan politik seseorang? Kemudian, sejauh mana reproduksi wacana bakal efektif memberikan dampak dukungan politik kepada seorang peserta kandidat?

Riuh rendah ekspresi pilihan kembali menggejala di antero maya usai debat Pilpres keduakalinya dihelat Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 17 Februari lalu. Cuitan di Twitter, meme di Instagram, hingga pendapat lepas di laman Facebook dilecutkan para pemilik akun. Situasinya memang begitu ramai –ribut, tetapi ini harus ditangkap sebagai penilaian publik yang pada akhirnya memang mengerucut pada poin ujung A atau B, hitam atau putih.

Fenomena di Indonesia harus diakui telah memberi kontribusi bagi cara memahami demokrasi super modern, pemilihan langsung. Terutama mengenai dialektika wacana dalam ruang publik, sebuah struktur alam berfikir terbuka yang teorinya dimanifestokan oleh filsuf Jerman Jurgen Habermas sebagai public sphere.

Idealnya, menurut Habermas ruang publik bersifat mandiri dan terpisah dari negara dan pasar. Ruang itu mengajak kebebasan berfikir manusia dalam rangka menghadapi tendensi mitologis dan memastikan kembali sumber daya rasionalitas, sehingga setiap warga negara memilik akses untuk menjadi pengusung opini publik.

Cukup rumit memang, mengutip istilah filsafat untuk memaknai kehidupan sosiologis-politik kita. Dosen filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung saja hanya menyebut kata ‘akal sehat’ ketika ingin mengetengahkan memilah dan memilih suatu isu dalam dinamika tahun politik ini.

Jika kita intip kembali, ruang publik yang diyakini sebagai tempat bertemunya gagasan, tak lain adalah antitesa dari pemikiran Horkheimer dan Adorno yang cukup pesimis dengan keterbukaan demokrasi. Bahkan dalam naskah bukunya, kedua filsuf ini menyebutkan upaya manusia untuk membebaskan diri dari mitos irasional malah akan menjebak manusia dalam mitos baru, yakni mitos rasionalitas. Sebut saja ‘mitos akal sehat’.

Oleh karenanya, Habermas memberi syarat agar ruang publik dapat menopang struktur demokrasi yang ideal, yaitu deliberatif, mau mendengar dengan hikmah, dan setiap orang yang berargumen berkedudukan setara.

Pengejawantahan deliberatif dalam demokrasi di berbagai negara seperti AS disadur sebagai suatu cara parlemen dalam mengambil keputusan. Sementara di negara-negara Eropa termasuk Inggris, diistilahkan dengan citizen assembly yang merupakan bagian dari prosedur parlemen sebagai badan aturan, etika dan kebiasaan mengatur pertemuan dan kelompok sosial, organisasi, badan legislatif dan majelis musyawarah. Di Indonesia kita mengenal rapat dengar pendapat umum atau sering disingkat RDPU, yang merupakan salahsatu fungsi yang dilakukan komisi kerja di DPR dalam menyerap pandangan dan pendapat dari para stakeholder atas suatu masalah atau perumusan kebijakan. Semua itu dilakukan semata-mata agar tidak terjebak pada ‘mitos akal sehat’.

Nah, di parlemen jalanan, aspirasi yang begitu acak menjadikan wacana dalam pertarungan politik terasa begitu dahsyat.

“Oh, negeri kita banyak masalah!” Mungkin itu ekspresi kebanyakan masyarakat melihat ramainya wacana di ruang publik.

Parlemen jalanan adalah istilah aktivis mahasiswa ‘98, yang kini telah menduduki kursi parlemen sesunggunya di Senayan sana. Mereka kini menyebut aksi-aksinya dulu di tonggak awal reformasi itu sebagai parlemen jalanan.

Kini istilah parlemen jalanan beralih menjadi parlemen ruang maya, tak bikin repot kepolisian untuk mengatur jalannya aksi. Tetapi kini kepolisian harus makin sigap menjawab ketertiban di dunia maya. Seperti istilah akal sehat yang ditelurkan Rocky berpadu dengan istilah dungu yang kerap muncul di layar kaca tiap ia tampil. Itu membuat polemik etika bagi sebagian besar masyarakat. Mungkin ini juga bagian dari ‘mitos akal sehat’.

Ketika demonstrasi di jalanan sudah minimal, ruang publik digelar secara masif di ruang maya. Namun justru, persoalan etika lah yang kini mendera kita sebagai masalah bangsa. Hal ini juga yang membuat kepolisian harus terus beradaptasi dan tetap berada di depan dengan segala kecanggihan sistem informasi dan teknologi.

Mendengar istilah ‘akal sehat dan dungu’ yang tak lazim itu, kebanyakan masyarakat kita pun memberi ekspresi tanda kutip, “Oh, cara berfikir kita banyak masalah?”

Tak hanya itu, pertanyaan lanjutannya adalah, Oh, etika kita makin bermasalah?

Sementara itu, di panggung wacana yang secara official dihelat KPU, para kandidat justru saling adu jawab atas soal-soal yang dibangun sedemikian rupa. Sebuah tayangan yang justru jauh dari adu tanya antar kandidat tentang persoalan bangsa.

Padahal, sebagian besar masyarakat justru ingin menyaksikan ajang debat tersebut sebagai ruang untuk melihat para calon pemimpin bangsa menjawab persoalan Indonesia. Ya, persoalan bangsa yang hari ini dan kedepan tak akan lebih ringan di tengah kemajuan ekonomi, demokrasi, dan dinamika lingkungan strategis dunia.

Di situlah wacana yang setiap hari dibahas di parlemen Senayan maupun parlemen jalanan dan kini parlemen maya yang makin mengemuka, harapannya mendapat tempat lebih terlihat dari para kandidat. Saya ulas lagi, masalah yang kian mengemuka itu 3 hal tadi, masalah kemajuan negeri (resolusi negara maju), masalah nalar berfikir (revolusi mental), dan masalah etika di ruang-ruang sosial kita hari ini (ketertiban, persatuan, dan keutuhan bangsa Indonesia).

Sebagai proses, rasanya adu wacana dalam alam pemikiran Habermas tentang public sphere dalam demokrasi kita hari ini, belum menyentuh alam kemanusiaan kita untuk mau mendengarkan, mengambil hikmah, dan deliberatif menyongsong kualitas demokrasi yang lebih baik.

Ada petuah yang sangat syahdu terdengar dari Ali bin Abu Thalib sahabat nabi Muhammad SAW, “Kehormatan manusia adalah pengetahuannya. Orang-orang bijak adalah suluh yang menerangi jalan setapak kebenaran. Di dalam pengetahuan terletak kesempatan manusia untuk keabadian. Sementara manusia bisa mati, kebijakan hidup abadi”.

Rasaya pertanyaan mengenai reproduksi wacana bakal efektif memberikan dukungan politik kepada seorang peserta kontestan? -hal itu belum dapat terlihat dari dinamika ruang publik demokrasi kita. Kesadaran masyarakat belum cukup mulus untuk menuju hikmah dari setiap pengetahuan yang berserak dalam wacana di ruang publik. Alih-alih ingin tercerahkan, justru terlalu banyak yang hanya ingin puas dengan pilihan politik yang lebih dini diekspresikan.

Meski begitu, apapun keadaannya, masyarakat tidak boleh terjebak pada ‘mitos akal sehat’ dalam ruang publik kita dewasa ini. []

Klik untuk komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 + fifteen =

Ke Atas