Pemikiran
Polisi dan Era Post Truth
The medium is the message kata Marshall McLuhan, seorang pakar analisis wacana. Yang berarti, teknologi dan cara menyampaikan pesan membentuk pesan itu sendiri. Senada dengan itu, jika merujuk pada pakar sosiologi Jerman Jurgen Habermas menyebutkan bahwa perkembangan wilayah sosial bebas dari sensor dan dominasi yang menjadikan setiap orang merefleksikan dirinya secara kritis, baik secara politis-ekonomis maupun budaya. Ini merefleksikan bagaimana ungkapan kebencian yang diturunkan dari sebuah wacana yang diorganisasikan, dapat membangun komunal-komunal yang berpotensi menjadi konflik sosial.
Meskipun akar konflik komunal berbeda, jika mengacu pada konflik basis materialisme yang lalu-lalu, ada beberapa hal yang membuatnya sama, yaitu adanya radikalisasi perbedaan identitas, radikalisasi komunalisme, serta bounded rationality yang memicu kesadaran kelas dalam kelompok-kelompok yang berkonflik. Sebab jika kita turunkan pemetaan Habermas tadi, dalam hal ini media sosial merupakan public sphere bagi gagasan-gagasan yang dapat dieksploitasi dan suatu pandangan publik dapat dinyatakan. Dengan mengacu pada teori tahapan-tahapan konflik sosial, era post–truth secara tidak disadari menghantarkan gagasan dan kebenaran semu yang berlimpah di dunia maya menjadi prasyarat bagi berlangsungnya konflik sosial. Apa saja prasyarat itu?
1. Ada isu-kritikal yang menjadi perhatian bersama (commonly problematized) dari para pihak yang berbeda kepentingan.
2. Ada inkompatibilitas harapan/kepentingan yang bersangkut-paut dengan sebuah obyek-perhatian para pihak bertikai.
3. Gunjingan atau gossip atau hasutan serta fitnah merupakan tahap inisiasi konflik sosial yang sangat menentukan arah perkembangan konflik sosial menuju wujud riil di dunia nyata.
4. Ada kompetisi dan ketegangan psiko-sosial yang terus dipelihara oleh kelompok-kelompok berbeda kepentingan, sehingga memicu konflik sosial lebih lanjut. Pada derajat yang paling dalam, segala prasayarat terjadinya konflik akan memicu,
5. “masa kematangan untuk perpecahan” yang diakhiri oleh,
6. clash yang bisa disertai dengan violence (kerusakan dan kekacauan).
Konflik sosial bisa berakibat sangat luas dan berlangsung dalam jangka waktu lama. Sebab komunalisme ditandai oleh semangat kolektivitas berwawasan identitas sempit (narrow mindedness), yang dianut oleh individu-individu yang terikat dalam suatu kelompok atau ikatan sosial-kemasyarakatan tertentu, dimana basis ikatan sosial biasanya dibangun melalui pengembangan ciri identitas ideologi atau keyakinan tertentu. Kemudian bounded rationality yang memicu kesadaran kelas yang jika mengutip “teori tindakan rasional individual” dari Max Weber, bahwa setiap individu selalu mengambil sikap untuk mengedepankan kepentingan kelompok daripada kepentingan individu, sekalipun pemikiran itu sebenarnya “membelenggu” kepentingan individual. Sederhananya, kesadaran yangmembentuk keadaan.
Penempatan makna struktur sosial dari Weber ini yang sepertinya lebih cocok untuk mendeskripsikan era post–truth, yang membedakan dari “teori struktur sosial” Karl Marx atau Emile Durkheim, yang menyatakan bahwa keadaan yang membentuk kesadaran. Karl Marx mengatakan bahwa keteraturan sosial akan lahir jika ada persamaan kelas yang akan memunculkan perjuangan kelas. Di situ konflik lahir. Sementara Emile Durkheim mengatakan jika ada norma, nilai, dan aturan maka akan menciptakan keteraturan sosial.
Bangsa Indonesia memiliki anggah-ungguh – tata krama – nilai sosial yang dulu bangsa lain iri pada kita. Tetapi kini memudar karena teknologi yang kita serap menciptakan suatu keadaan baru yang dibentuk oleh orang-orang di dalamnya. Kesadaran individual dianggap sebagai kebenaran individual, dan itu ada pada 130 juta orang pengguna media sosial. Maka jangan heran hasilnya berupa 3.325 kasus kejahatan hate speech pada 2017, yang tingkat kejahatannya itu melonjak 44,99 persen dari tahun 2016. Kita tidak bisa menunggu sampai meledak rekor kejahatan ini, perlu suatu upaya sistematis menuju keteraturan seperti sediakala.
Polri sebagai ujung tombak keamanan dan ketertiban masyarakat memiliki pekerjaan yang luar biasa besar di era post–truth ini. Kita harus mampu menyelami penyimpangan masyarakat sejak dari lisannya. Pada masyarakat internet atau netizen berarti sejak dari jempolnya.
Dalam satu dekade tetakhir, internet dan khususnya media sosial seperti platforms Facebook, Twitter, Instagram telah menjadi area riset yang berkembang pesat. Silahkan googling dengan kata kunci “research media social+pdf”, maka anda akan melihat bahwa di situ ada sekitar 684 juta hasil. Hasil sementara yang saya lakukan, jika kita bagi ke dalam topik dan cakupannya maka kita dapat memetakan sebagai berikut.
1. Media sosial sebagai wahana riset dan analisis.
2. Penggunaan media sosial dan perilaku manusia.
3. Riset yang berkaitan dengan dampak sosial media terhadap pelajar.
4. Dampak sosial dari penggunaan media sosial.
5. Pengunaan media sosial pada organisasi profesional.
Dalam realitanya, penggunaan media sosial jauh lebih aplikatif dalam dunia marketing, baik marketing bisnis maupun marketing politik. Laporan berbagai agensi periklanan menunjukkan bahwa tren belanja iklan di media sosial melesat jauh meninggalkan iklan di surat kabar cetak maupun televisi. Hal yang sama juga dengan marketing politik, kini alokasi untuk berjejaring di paltforms digital jauh lebih bisa menyasar khalayak konstituen.
Ruh hidup Bhineka Tunggal Ika secara teknis tentu harus mampu berdampak seperti konten-konten marketing, jika memang norma dan ketertiban sosial ingin masuk menjadi nilai-nilai virtual pada media sosial. Literasi media bagi masyarakat semakin mendesak, terutama dalam mencari, memilih dan memilah informasi sehingga bisa membedakan informasi yang obyektif dan akurat dengan hoax maupun fake news yang tidak bermanfaat bahkan cenderung destruktif.
Dalam hoax maupun fake news, kesalahan dibuat secara disengaja untuk maksud-maksud tertentu, termasuk maksud penyesatan (desepsi) informasi. Kebenaran atau fakta politik sering dilawan dengan fakta palsu (hoax) atau berita palsu (fake news). Dis-informasi tidak lagi terjadi karena kesalahan, tetapi terjadi secara sengaja sehingga mengarah pada desepsi informasi. Fakta tidak dilawan dengan fakta, tetapi dilawan dengan hoax dan fake news. Kebenaran menjadi relatif dan pemegang kebenaran adalah mereka yang mampu mengendalikan informasi.
Menggenapi literasi media sosial, setiap kita abdi negara harus menjadi individual menyemai kebaikan di dunia maya. Karena setiap abdi negara dilahirkan sebagai stakeholder dalam power dan interest publik. Sebab lingkungan konflik muncul dari perbedaan sikap para aktor komunakasi yang kadang tidak bisa dihindari, karena mereka mengekspos nilai dengan persepsi yang berbeda. Maka cara terbaik untuk mengatasi konflik tersebut adalah dengan memungkinkan diskursus menjadi semakin terbuka, tetapi tetap memperhatikan kelompok kepentingan. Dengan begitu, kebebasan berbicara di media sosial dapat diarahkan ke dalam konteks pembangunan modal sosial masyarakat internet atau netizen dengan trust and knowledge yang disemaikan secara komprehensif.
Mempertimbangkan bahwa teknik post-truth lebih mengutamakan emosi dari pada rasionalitas dan obyektivitas data, maka pada era post-truth ini, kita harus memberi waktu lebih kepada bentuk komunikasi yang sering dilupakan, yaitu mendengarkan untuk tertarik persepsi pihak lain. Maka komunikasi bukan hanya transmisi, tetapi juga menerima, inklusif agar kerja kita relevan dengan aspirasi atau keprihatinan masyarakat.
Perlu memperkenalkan literasi media di sekolah, terutama sejak Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Dengan demikian, sejak remaja peserta didik sudah memahami mekanisme, teknik dan trik media sosial agar tidak mudah dimanipulasi. Mulai dari hal sederhana, seperti waspada terhadap headlines karena sering dijadikan alat untuk memancing seseorang masuk ke dalam wacana yang menjebak: orang akan menjelaskan cerita, komentar artikel, lalu percaya begitu saja terhadap apa yang tidak dibacanya. Orang sudah percaya pada arah yang dibidik oleh headlines.
Sejak dini perlu bijaksana bila harus menyampaikan pesan. Susunlah argumen yang sederhana karena argumen yang kompleks tidak menarik dan akan mudah disalahgunakan. Maka tunjukkan alasan yang relevan dengan konteksnya agar bisa fokus pada informasi yang penting. Telusurilah sumber berita apakah bisa dipercaya! Jelaskan bagaimana organisasi berita beroperasi agar tidak dijebak atau dikhianati oleh sumber berita! Bersikaplah skeptis terhadap narasi yang kamu percaya seperti halnya terhadap narasi yang kamu tidak percaya! Namun berusahalah masuk atau menembus kelompok yang mengisolasi dengan sudut pandang sendiri dengan menggunakan pola seperti BuzzFeed News yang mempresentasikan pendapat berbagai Facebooks. Pola ini membuka perspektif untuk belajar menerima sudut pandang yang berbeda atau berusaha tahu apa pikiran/kata pihak seberang. Cara ini akan membangun jembatan sehingga tidak mudah tergoda untuk mengadili.
Upaya menembus isolasi pihak seberang itu harus disertai dengan memikirkan kembali cara fact-checking supaya jangan menjadi boomerang: bila kita masuk ke perangkap berita yang sulit diverifikasi. Maka periksalah lebih dulu sumber berita dengan cara meneliti alamat situsnya, detil visual; iklan yang terlalu banyak patut dicurigai; perlu dicek redaksinya, apakah bisa dikomplain atau tidak; apakah memiliki ciri-ciri pakem media; dan perlu dicek ke media mainstream apakah memberitakannya atau tidak; bisa digunakan juga Hoax Buster Tools (Setiaji Setyo Nugroho dalam ceramah di Universitas Ciputra Surabaya, 10 Maret 2018).
Upaya kritis yang lebih tajam lagi ialah dengan memeriksa: siapa yang mengatakan atau membuat informasi dan apa kepentingannya? Kita perlu mengidentifikasi ketidakberesan sosial dalam isi teks: diskriminasi, prasangka negatif, fitnah, kambing hitam, ketakadilan, membangkitkan perpecahan atau permusuhan. Siapa diuntungkan/dirugikan oleh informasi itu? Apakah sistem atau konstelasi sosial-politik yang ada menghendaki ketidakberesan sosial itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas membantu untuk membongkar ideologi di balik teks atau berita, termasuk juga memungkinkan untuk menyingkap strategi kekuasaan di balik suatu wacana.
Cara membongkar kebohongan bisa dilakukan juga dengan verifikasi ketat terhadap inkonsistensi laporan dengan mencek otentisitas informasi apakah sungguh demi pelayanan dan kebaikan publik. Maka sangat diperlukan kemampuan jurnalisme untuk melemahkan mereka yang memproduksi kebenaran bias atau berita palsu. Oleh karena itu jurnalisme harus mampu mendapatkan benchmark yang tentu membutuhkan investasi, inovasi dan tim yang terstruktur.
Ruang improvisasi sangat terbuka lebar dengan sumber yang berlimpah di dunia maya. Sudah sepatutnya setiap perwira menggali berbagai macam pengetahuan kapan pun dan dimana pun. Setelah lulus dari kawah candradimuka Akademi Kepolisian, tetap lanjutkan budaya disiplin dalam belajar. Dunia berubah cepat dengan teknologi, jika kita terlambat, kita akan ditinggalkan dan hanya merasa besar di dalam dunia kita sendiri. Menjadi Polisi yang profesional, modern, dan terpercaya harus kita wujudkan dari mulai diri kita sendiri. Menjadi PROMOTER dalam memberikan menjaga stabilitas nasional di era post–truth harus dimulai dari jempol. []
*Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi pemikiran bersama Prof. Haryatmoko.