Penghayatan
Idul Fitri, Tradisi Nusantara Soal Manusia Biasa
Itu memang momennya. Maaf dan memaafkan. Siapa pun tak ingin melewatkan. Itu sebabnya setiap jalan berpadu sesak, memanggil siapa saja yang sudah setahun lamanya menjemput rezeki, di mana pun, pulang.
Pulang berarti kembali pada asal sosial, membangun kembali bentuk asal spiritual. Ini menjadi makna yang tak tersirat di hari Idul Fitri, yang baru saja kita lalui.
Spiritual pada dasarnya esoterisme, sesuatu yang batiniah. Namun menggenapi susunan keimanan itu, umat Muslim justru menempuhnya dengan bertemu manusia, silaturahmi. Dalam pakem keislaman ini diistilahkan hablumminannas, yang menjadi sisi lain hubungan setiap insan manusia kepada Sang Khalik.
Lebih luas dari cakupan silaturahmi, hablumminannas berarti membangun ekosistem hidup dengan pemanfaatan akal budi. Maka, tidak ada istilah ‘rigid’ bagi umat Islam dalam mendalami dunia beserta isinya. Kecuali dikatakan dalam kitab suci Al Quran dengan hukum haram.
Capaian spiritualitas yang massal seperti ini kemudian dipenuhi oleh negara dengan memberi berbagai keluangan, seperti menjadikan hari libur yang panjang hingga optimalisasi aparat negara demi menjamin terselenggaranya hari raya.
Strukturasi spiritualitas ke dalam kehidupan berbangsa di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. Hal yang justru tidak ditemukan di berbagai negara lain yang penduduknya mayoritas Muslim, tak terkecuali Arab Saudi.
Perayaan Idul Fitri dengan gegap gempita juga warisan bangsa besar Nusantara. Sebagaimana dituliskan dengan baik oleh Clifford Geertz dalam bukunya Religion of Java. Sudah sejak medio 1800-an Idul Fitri merupakan momen yang dirayakan oleh semua kalangan rakyat. Tak ada perbedaan kelas sosial, semuanya tumpah ruah di hari raya lebaran itu.
Pakar sejarah kenamaan Prancis, Denys Lombard, juga mencatat hal serupa. Perayaan Idul Fitri sejatinya asimilasi Islam di tanah Nusantara. Bangsa ini kukuh pada suatu kultur, bahwa perlu ada harinya semua tangan ini bersalaman, hati bertemu dengan hati saling meleburkan kekhilafan sebagai manusia biasa. Idul Fitri memang momennya, tetap menjadi Indonesia – bangsa Nusantara. []