Penghayatan
Melantangkan Ideologi Bernegara
Tanggal 1 Juni menjadi hari libur, karena segenap bangsa memperingati kelahiran Pancasila. Hanya saja, gegap gempita peringatan lahirnya ideologi negara tidak semeriah ketika kita memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus.
Beruntung setiap kita sekarang ini punya akun media sosial. Meski di jalan-jalan tidak kita lihat pawai Pancasila, namun di media sosial itu masih bisa kita intip kolase logo pancasila menjadi hiasan profile picture.
Belakangan, Pancasila juga menjadi terasa harus diingatkan kembali. Bahwa kita punya itu. Rentetan hajatan politik sejak Pilpres 2014 hingga kemarin pemilihan kepala daerah secara serentak, sudah cukup membuat masyarakat terkotak dengan ke-keukeuhan pilihan politiknya.
Politik kandidasi saat ada Pemilu memang terasa ‘seakan’ segalanya. Massa di akar rumput dengan senang hati mengikuti kampanye kandidat pilihannya dengan gembira. Ibu-ibu di gang-gang Ibu Kota mendadak berdandan, demi menyambut si Bapak anu nomor urut sekian.
Bapak-bapaknya mengenakan kaos pembagian bergambar foto muka kandidat. Bertuliskan JANGAN LUPA PILIH.
Wajah-wajah politisi itu ibarat sinar yang menyejukkan, yang semua tangan ingin menyentuhnya. Setelah itu, kandidat naik ke panggung ala kadarnya, kemudian mengajak semua massa yang hadir dangdutan.
Tidak terkecuali panitia penyelenggara, semua bergoyang mengikuti irama yang dipandu oleh artis lokal. Kadang juga artis Ibu Kota yang menamakan dirinya relawan.
Negara tidak hadir di situ. Negara berprasangka baik kepada setiap kandidat politik. Bahwa setiap dari mereka yang berpolitik pasti menjaga persatuan dan kesatuan.
Negara juga tidak hadir di situ, karena para politik kandidasi secara tradisi selalu memberikan kue-kue kecil tanda pembangunan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di situ negara hadir di pojok-pojok, berseragam coklat dan hijau memantau jalannya hajatan politik.
Berpolitik adalah berkah kemerdekaan. Di arsip Prelinger, potret seperti ini tidak ditemukan.
Arsip Prelinger adalah video dokumenter dengan sutradara Deane Dickason yang menyuguhkan suasana era kolonial Belanda, 1938-1939.
Dalam video itu memuat kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia pada akhir berkuasanya VOC. Saya melihatnya lekat-lekat hingga berulang tiga kali. Saya takjub dengan wajah bangsa Indonesia yang tulus menjalani kesehariannya sebagai pedagang keliling, sebagai penarik omprengan perahu rakit di kanal Batavia.
Sejarawan yang hidup pada masa itu, melukiskan sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta seperti sungai-sungai Venesia atau Amsterdam.
Dalam arsip itu juga ada Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan keluarganya di Istana Merdeka dan Istana Bogor. Ya, dia adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda terakhir yang menghadapi invasi Jepang yang dahsyat.
Leluhur kita meski belum mengenal Pancasila, dalam video berwarna itu sama seperti kita. Murah senyum, dan berkarib dengan siapa pun yang dijumpainya. Bahkan, di pasar-pasar leluhur kita yang berpapasan dengan orang Belanda itu, tetap menyunggingkan senyum seperti tidak ada masalah besar yang disebut penjajahan.
Tidak ada paham politik kenegaraan di jalan-jalan. Tidak ada negara di pasar-pasar.
Lain dengan sekarang, di jalan-jalan selalu ada saja atribut politik. Entah itu poster kandidat yang tidak sempurna dicabut, bendera partai dipasang karena menyambut Munas, posko resmi partai, organisasi underbow, atau grafiti di dinding-dinding penyangga jalan flyover -yang katanya itu kode sebuah organisasi.
Ideologi adalah abstraksi bagaimana seharusnya pola pikir bangsa yang hidup di dalam satu negara.
Korea Utara, negeri dengan ideologi komunis mutlak yang masih tersisa sejak perang dunia kedua berakhir. Seperti itulah warganya hidup dengan boikot dan tertinggal.
Amerika Serikat, negeri dengan American Dream, warganya selalu gembira karena ideologi kebebasan. Tapi, hidup di sana katanya harus serba waspada, karena pemilikan senjata oleh sipil juga bebas.
Negeri-negeri di Timur Tengah, nyaris tanpa ideologi. Kecuali Turki. Agama di atas segala-galanya, sehingga keberterimaan yang tidak penuh kepada negara, karena itu juga menyangkut paham apa yang diyakini.
Negeri maju seperti Inggris, ideologi negara adalah Raja yang dihormati. Ini juga berlaku di Thailand. Meski politik begitu dinamis, wujud ideologi adalah wujud raja yang tidak boleh tidak dihujat. Kudeta militer ada di situ. Tapi rakyatnya tetap harmonis. Stabilitas negara terletak pada wujud ideologi sang raja.
Bagaimana dengan Indonesia? Keberaturan berdampingan dengan ketidakberaturan. Ini negeri yang sudah 70 tahun lebih merdeka masih bermetamorfosis menuju negeri Nusantara modern. Negeri yang dalam sejarahnya justru dipersatukan dengan keberagaman.
Negeri ini tidak memungkiri selalu digembleng dengan perubahan. Tetapi selalu berakhir baik dengan kembali pada Pancasila.
Pancasila adalah intangible asset di negeri yang kaya dengan sumber daya alam. Tanpa ideologi negara, maka tidak akan ada rasa syukur atas Ketuhanan yang Maha Esa yang memberi berbagai kemudahan hidup di negeri khatulistiwa.
Hanya saja, terkadang kita selalu gagap dengan wujud kemanusiaan yang adil dan beradab di tengah keterbukaan pergaulan dunia, yang diizinkan masuk oleh politik luar negeri bebas-aktif.
Tidak sedikit paham-paham sempit yang juga dibawa dalam keterbukaan negeri ini. Apakah dibenarkan jika sekelompok dengan keyakinan ekstrim melukai saudara sebangsanya sendiri? Apakah benar jika tidak menerima negara, lantas Polisi yang menjadi sasarannya?
Kita berterima kasih kepada ideologi negara yang memberi kebebasan, tapi zaman ini digiring ke ruang yang benar-benar unkonventional.
Kritik penyelenggaraan negara, malah dilancarkan lewat bom. Mosi tidak setuju dipertunjukan dengan ujaran kebencian dan hasutan.
Rasanya kita merindukan pribadi gentlement, seperti para pendahulu kita yang selalu berkumpul di ruang kebebasan berpendapat. Di ruang pertaruhan ide-ide kenegarawanan.
Mestinya itu bisa berlangsung di balai rakyat di Senayan sana. Secara perwakilan atau suara utusan golongan. Arah negeri ini, dan pengamalan Pancasila, memang harus ditentukan oleh sila ke empat, oleh politik kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan. Sekali lagi, bukan oleh politik kandidasi yang terkadang mengabaikan hikmah bahwa jika terus begini, bangsa kita akan terus digembleng, digembleng, digembleng, seperti pernah diujarkan oleh founding father, Bung Karno.
Mari kembali melantangkan Pancasila kita!
