Connect with us

Ahriesonta.id

Surat untuk Perwira Muda

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian bersama Taruna Lulusan Akpol Angkatan 49 Prawira Hirya. Foto: Istimewa/Alimin/Beritahati.

Pengabdian

Surat untuk Perwira Muda

Setiap abdi negara, setiap polisi adalah pemimpin. Seorang pemimpin di masyarakat akan diingatkan oleh tanggung jawab, oleh budi bakti, oleh bawahan, dan oleh masyarakat yang ingin kita lindungi, ayomi dan yang ingin kita layani.

Polisi bukan hanya sebuah profesi. Lebih dari itu, polisi merupakan sebuah peran yang akan melekat hingga akhir hayat kita. Polisi sebagai perangkat hukum negara yang secara fundamental melawan kriminalitas atau dalam berbagai karya akademik dunia diistilahkan dengan crime-fighter. Namun, kini ternyata kepolisian secara universal telah sangat jauh berkembang. Polisi kini tengah bertransformasi dalam pengembangan community policing sebagai bentuk pemolisian masyarakat atau Polmas yang lebih menonjolkan aspek preventif atau pencegahan kriminalitas, dari hanya prestasi menekan angka kriminalitas.

Itu artinya, menindak suatu kejahatan yang muncul di masyarakat adalah suatu kewajiban. Akan tetapi, Polmas yang berada satu langkah di depan sebelum kejahatan terjadi, menjadi prestasi yang luar biasa bagi stabilitas sosial, masyarakat, dan kenyamanan hidup di Indonesia. Jika kita perhatikan, perubahan universal institusi kepolisian di banyak negara juga beriringan dengan langkah-tegap Kepolisian Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Jend. (Pol) Tito Karnavian Ph.D.

Arahan Bapak Kapolri, Kepolisian Republik Indonesia harus menuju Profesional, Modern, dan Terpercaya atau PROMOTER. Maka saya, kami, dan rekan-rekan yang lebih lama dan lebih dulu dari adik-adik Prawira Hirya bertugas di masyarakat, menemukan kunci utama menjadi seorang Polisi, yakni seorang Polisi harus memiliki politeness, kesantunan, suatu budi yang mencerminkan pribadi Indonesia-pribadi Nusantara.

Sifat dan sikap santun dalam bertugas sangat penting dalam membina mental melindungi, mengayomi, dan melayani agar senantiasa dapat menjadi ruh dalam menjalankan tugas sehari-hari. Terlebih, dalam nuansa zaman kekinian, memupuk mental seperti ini memerlukan upaya ekstra. Terlalu banyak dinamika sosial yang lahir di dalam sendi-sendi bangsa ini berdemokrasi, yang pada ujungnya, kepolisian harus mampu mengurai masalah keamanan nasional yang mungkin belum pernah dihadapi oleh para senior kita pada dekade-dekade yang lalu.

Dinamika sosial kontemporer menyentuh dasar kebangsaan kita yang berbhineka. Mereka, yang berkepentingan dengan tidak stabilnya Indonesia, mengekspolitasi sedemikian rupa setiap unsur kerukunan. Maka, Indonesia kini dihantui masalah laten konflik sosial yang kapan saja bisa mencuat ke permukaan. Dari berbagai enabler factor dalam berbagai teori konflik, pada era kontemporer ini dilecut dengan adanya media sosial. Paham radikal atau radikal-isme yang disebarluaskan melalui media dengan koneksi internet ini, telah nyata berubah menjadi rangkaian aksi terorisme, yang memakan korban jiwa dan kerugian aset-aset negeri. Hal ini tidak hanya menjadi pelajaran penting bagi bangsa ini – karena hingga kini masih menjadi masalah besar yang harus kita tuntaskan.

Di tahun-tahun Pemilu, media sosial dijadikan medan pertempuran pengaruh. Menjadi narasi, yang kemudian dijadikan bahan baku konflik agar masyarakat mengolahnya menjadi hate speech. Dengan resep-resep jitu kritik yang tidak konstruktif, semua itu didaur-ulang menjadi wacana yang tidak berimbang, dikala pemerintah tengah sibuk bekerja. []

Klik untuk komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

10 + two =

Ke Atas