Pengabdian
Mosul tak lagi dikuasasi ISIS, Indonesia berlarut diguncang aksi terorisme
Mosul, kota di utara Irak itu kini sudah lepas dari penguasaan ISIS. Pemerintah Irak menguasai kembali kota itu Oktober 2017 lalu, beberapa bulan setelah pimpinan besar ISIS Abu Bakar al-Baghdadi diberitakan tewas dalam serangan udara Rusia di Raqqa yang diklaim sebagai pusat kekuasaan ISIS.
Namun, pada Februari 2018, intelijen AS menyebutkan bahwa Baghdadi dinyatakan masih hidup. Ia bersembunyi di wilayah gurun Al Jazeera. Sumber intelijen yang telah dikutip berbagai media dunia ini juga menyebutkan, Baghdadi dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk memberi komando kepada para pengikutnya di seluruh dunia. Baghdadi yang merupakan bekas pengikut Al Qaeda ini dikabarkan menderita penyakit diabetes dan terluka akibat bombardier pasukan Rusia di Raqqa.
Diantara kisah Mosul dan kabar terakhir al-Baghdadi, ada banyak keluarga yang tengah kembali menemui rumah yang ditinggalkannya, seperti keluarga Mohammed Saleh Ahmad. Kisah kembalinya penduduk kota Mosul ini diabadikan dalam photo story oleh fotografer Reuters Khalid al-Mousily.
Media dunia banyak melansir ulang photo story tersebut, seperti dilakukan media online India hindustantimes.com, mereka menyebut momen ini dengan judul “A bittersweet return home to ISIS free Mosul”. Ini menunjukkan bahwa ISIS merupakan musuh kemanusiaan, yang mengatasnamakan agama Islam ingin menguasai Irak dan Suriah ke dalam satu pemerintahan. Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsudin menyebut bahwa terduga pelaku teror yang mengaku atas nama Islam adalah pengakuan sepihak atau self claim islamic terrorism.
Kota Mosul yang dihuni oleh penduduk dengan mayoritas beragama Islam, nyatanya menjadi korban infiltrasi ISIS. Fakta ini menjadi refleksi bahwa terorisme yang diciptakan ISIS seharusnya tidak menjadi fitnah terhadap umat Islam. Thus, pemahaman ini menjadi dasar yang sangat penting, ketika akhir-akhir ini kelompok partisan ISIS yang ada di Indonesia melancarkan aksi bom bunuh diri secara masif. Kelompok partisan ISIS ini dalam temuan Polri disebutkan memiliki organisasi domestik sebagai Jemaah Ansharud Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).
Anehnya, aksi partisan ISIS di Indonesia mencuat saat kekuatan ISIS justru tengah di ambang kehancuran. Kelompok partisan ISIS ini melancarkan aksi besarnya pada Januari 2016, dengan meledakkan Pos Polisi Sarinah di jalan Thamrin Jakarta Pusat. Setelah tragedi Thamrin, mereka tiarap hingga aksi bom bunuh diri di tiga gereja di kota Surabaya Jawa Timur.
Tragedi bom bunuh diri di tiga gereja terjadi pada Minggu 13 Mei 2018 ini menelan korban 15 orang meninggal dunia dan 41 orang mengalami luka-luka. Korban banyak karena pagi itu umat kristiani akan melangsungkan peribadatan di gereja.
Aksi di tiga gereja ternyata hanya awalan, sebab keesokan harinya aksi teror bom dilancarkan di Polrestabes Surabaya. Aksi bom bunuh diri ini memakan korban yang lebih sedikit, karena bom meledak pada saat petugas melakukan pengecekan di pintu masuk. Korban meninggal dunia hanya pelaku bom bunuh diri. Namun, empat orang polisi dan enam orang warga sipil mengalami luka-luka akibat kejadian ini.
Di hari yang sama, sebuah bom meledak juga di rusunawa Wonocolo Sidoarjo. Bom ini meledak masih di tempat tinggal sang teroris yang diketahui atas nama Anton Febrianto. Bom ini menewaskan anggota keluarganya, mencakup istri pelaku atas nama Puspita Sari dan anak tertuanya dengan inisial HL. Tiga orang anaknya yang lain selamat dalam kejadian ini.
Menyusul tragedi di Surabaya, jaringan terorisme juga melakukan penyerangan terhadap aparat kepolisian di Mapolda Riau di pekan yang sama. Persisnya pada Rabu 16 Mei 2018, pelaku penyerangan berjumlah empat orang yang mengakibatkan timbulnya korban di pihak polisi dan sipil yang tengah berada di tempat kejadian.
Aksi terorisme yang terjadi berturut-turut dalam dua pekan ini menyisakan banyak pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah dalam penanggulangan terorisme kontemporer. Pertama, pelaku teror turut serta membawa keluarganya. Sebagaimana informasi yang sudah divalidasi kepolisian, pelaku bom bunuh diri di tiga gereja adalah keluarga Dita Oepriarto (ayah), Puji Kuswati (istri), YF (anak tertua), FH (anak kedua), FS (anak ketiga) dan FR (anak keempat).
Sementara itu pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya adalah keluarga Tri Murtiono (ayah) dengan Tri Ernawati (istri) dengan mengikutsertakan anak-anaknya MDAM (18) dan MDSM (14). Anak ketiganya seorang perempuan AIS (7) selamat dalam kejadian tersebut.
Aksi terorisme yang mengikutsertakan keluarga merupakan modus kontemporer kelompok radikal di Indonesia, yang menjadi PR pemerintah kini. Fenomena ini sebenarnya telah lama menjadi perhatian dunia, bahwa paham radikal merekrut kelompok masyarakat yang memiliki hubungan psikologis paling dekat.
Mohammed M. Hafez dalam bukunya “The Ties that Bind: How Terrorists Exploit Family Bonds” menyebutkan dengan mengutip New America study ada 474 kombatan teroris dari 25 negara barat memiliki hubungan keluarga yang siap melakukan aksi terorisme.
Sejarah juga menunjukkan bahwa teroris selalu memobilisasi saudara dan pasangan mereka sendiri untuk melancarkan aksi teror. Studi Donatella della Porta tahun 1995 tentang Brigade Merah Italia selama tahun 1970-an dan 1980-an menemukan bahwa ada 298 dari 1.214 militan “memiliki –setidaknya- satu kerabat, biasanya suami atau istri, saudara laki-laki atau perempuan” dalam gerakan teror. Dua pendiri Brigade Merah, yakni Renato Curcio dan Margherita Cagol, tidak lain merupakan pasangan suami istri.
Fakta lain juga menunjukkan ada 6 dari 19 pembajak pesawat pada tragedi 11 September 2001, adalah bersaudara. Abu Musab al-Zarqawi mengirim ayah mertuanya Yassin Jarrad untuk melakukan pemboman besar yang menewaskan ulama Syiah Ayatollah Muhammad Bakr al-Hakim pada 2003. Pembunuhan di hotel Amman, Yordania, 2005 melibatkan satu tim suami-istri Irak, yakni Ali-Hussein al-Shamari dan Sajidah al-Rishawi. Pada tahun yang sama, Muriel Degauque pergi ke Irak bersama suaminya, Issam Goris, keduanya bermaksud melakukan serangan bom bunuh diri.
Dalam konteks Indonesia, aksi terorisme dengan menyertakan keluarga merupakan bahaya laten. Din Syamsudin dalam pemaparannya pada acara ILC Selasa 16 Mei 2018 di stasiun TV One menyebutkan bahwa ada 2.000 orang Indonesia yang direkrut kelompok teroris pada medio 1979. Perekrutan ini merupakan generasi pertama paham radikal dengan self claim islamic terrorist dari Timur Tengah. Kala itu bukan ISIS, tapi gerakan Al Qaeda atau militan Afghanistan.
PR pemerintah yang kedua adalah membangun sebuah institusi penegakkan hukum atas kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Agar supaya institusi Kepolisian dapat berlaku optimal dalam penanganan kejahatan terorisme, diperlukan suatu kewenangan dalam penyidikan beserta sistem pengawasan yang komprehensif.
Teror menciptakan ketakutan. Jika masyarakat was-was, kemudian pemerintah gentar, sedangkan penegakan hukum lemah, bukan tidak mungkin kota-kota di Indonesia akan bernasib seperti Mosul. Kesadaran akan dampak dari berbagai faktor stimulan terorisme inilah yang semestinya dapat dipahami oleh berbagai stakeholder di Republik ini. Partisan ISIS di Indonesia terus gencar melakukan aksi terorisme, yang menjadi bagian eksistensi ISIS pusat yang tengah mengalami pelemahan. Sekali lagi, Indonesia harus mengoptimalkan penanggulangan terorisme jika tidak ingin melihat kemungkinan terburuk di kemudian hari. Penguatan kewenangan kelembagaan memungkinkan kepolisian menanggulangi terorisme hingga ke akarnya.