Pengabdian
Pembakaran Hutan dan Lahan, Sebuah Uraian Perspektif Pemolisian
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memberikan review memberikan review bahwa Indonesia memiliki titik kebakaran (hotspot) terbesar di Indonesia, mencakup: Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatera Selatan. Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) merupakan wilayah dengan hotspot terbesar dalam setiap terjadi kebakaran, sejak 18 tahun terakhir.
Signifikansi Kalteng sebagai wilayah dengan hotspot tertinggi dilatarbelakangi kondisi hutan tropis yang besar dan jenis lahan gambut, yang memungkinkan jika terjadi kebakaran, api dapat membakar pohon yang lebat dan api membakar hingga ke akar di dalam lahan gambut.
Sudut pandang pemerintah, dalam hal ini Bappenas, dalam mensikapi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) memberikan penekanan pada kegiatan masyarakat terhadap pemanfaatan ruang hutan. Kegiatan ekstensifikasi (perluasan) lahan pertanian dan perkebunan memaksa adanya pembukaan hutan. Meskipun, dalam pembukaan hutan tidak diperbolehkan menggunakan cara pembakaran.
Dalam makro kebijakan pertanian, terdapat dua hal pokok yang menjadi sorotan, yakni aktifitas pertanian-perkebunan yang tidak lestari yang menyumbang terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dan secara khusus perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mendapat sorotan dunia karena berkontribusi sebagai penyebab kerusakan lingkungan.
Melalui kerangka Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO), non pembakaran lahan dan hutan menjadi satu penegasan ketentuan bisnis perkebunan pada komoditas kelapa sawit, selain ketentuan pengelolaan limbah yang baik. Hal ini penting menjadi sorotan, karena salah satu keadaan pembakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan adalah pebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan negara baik di dalam taman nasional maupun di hutan lindung untuk perluasan kebun sawit.
Tingginya migrasi dan keuntungan dari berkebun sawit merupakan faktor utama terjadinya perambahan hutan. Disamping itu adanya masalah konflik lahan di dalam kawasan hutan negara membuat pengelolaan sumberdaya alam menjadi tidak berkelanjutan karena kurangnya insentif bagi petani untuk melakukan investasi dalam memperbaiki kesuburan lahan dan mencegah terjadinya kebakaran hutan.
Center for International Foresty Research (CIFOR) menyatakan bahwa kebakaran hutan merupakan masalah kebijakan atau sebagai masalah tunggal kebijakan sehingga perlu rekomendasi umum untuk menyelesaikannya adalah pemikiran yang keliru.
Beberapa kebijakan nasional mengenai karhutla telah mencakup berbagai aspek teknis pertanian-perkebunan, sistem sosial agribisnis, kebijakan masyarakat hutan, aspek hukum pembakaran hutan, hingga tata kelola wilayah.
Kebijakan teknis pertanian-perkebunan didasarkan atas berbagai rekomendasi metode tanam dan integrasi pertanian dengan peternakan. Dari aspek sosial agribisnis, salahsatunya dikembangkan kebijakan hutan kemasyarakatan sebagai salah satu pemecahan masalah perambahan hutan di Indonesia. Hutan kemasyarakatan merupakan paradigma baru dalam pengelolaan hutan dimana masyarakat desa hutan dapat menjadi mitra pemerintah dalam menjaga, memelihara dan memanfaatkan kawasan hutan secara lestari.
Berbagai pembenahan kebijakan atas karhutla secara nasional juga telah mencakup aspek hukum, yang terlihat dari adanya ketentuan yang tertera pada UU No.39/2014 Tentang Perkebunan dan UU No.32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup. Secara rinci pasal yang memberikan keterangan terhadap larangan pembakaran hutan dijelaskan sebagai berikut.
• Pasal 56 ayat (1) Jo Pasal 108 Undang Undang RI Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan
Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
• Pasal 98 ayat (1) UU.RI. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
• Jo Pasal 99 UU.RI. ayat (1) No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup
Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
• Jo Pasal 99 UU.RI. ayat (1) No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Meskipun secara aturan sudah cukup komprehensif diatur, namun dalam pelaksanaan penegakkan hukum di lapangan harus diikuti dengan strategi pemolisian yang tepat supaya masalah karhutla tidak berdampak pada terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Polri pada tahun 2015, telah melakukan kajian atas modus operandi yang digunakan oleh para pelaku pembakaran hutan atau lahan. Beberapa modus tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Pembakaran hutan dan lahan dilakukan di luar kawasan konsensi agar lahan menjadi kritis sehingga mempercepat ijin pelepasan kawasan hutan maupun ijin konsesi untuk kawasan Hutan Tanaman Industri maupun perkebunan.
2. Masyarakat maupun perusahaan perkebunan melakukan pembakaran hutan dan lahan untuk meningkatkan kesuburan tanan gambut. Lahan gambut mempunyai pH yang rendah dan tingkat keasaman yang tinggi sehingga tidak bagus untuk bercocok tanam/ berkebun. Agar kandungan tanah gambut menjadi subur tanpa harus mengeluarkan biaya banyak dengan melakukan pengkapuran dan pemupukan adalah dengan melakukan pembakaran lahan. Lahan gambut yang terbakar akan meningkatkan kadar pH dan menurunkan keasaman tanah, disamping itu abu bekas kebakaran berfungsi sebagi pupuk sehingga tanah tersebutakan menjadi subur.
3. Perusahan perkebunan sawit sengaja melakukan pembakaran lahan dengan cara membuat saluran air di sekeliling areal yang akan dibakar dengan maksud untuk mengarahkan api membakar pada lokasi yang diinginkan saja. Parit berfungsi untuk mencegah agar api tidak menjalar ke areal lainnya.
4. Pembukan lahan perkebunan dengan cara penggunaan api untuk membakar hutan dan lahan dilakukan sebagai cara yang murah, mudah dan efektif. Pelaku pembakaran lahan tidak memerlukan biaya dan tenaga yang banyak serta dapat dicapai target yang diinginkan dalam waktu yang singkat.
5. Pembakaran lahan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan lahan yang menjadi konflik oleh pihak-pihak tertentu baik konflik karena tumpang tindik perijinan pemegang kawasan konsesi maupun konflik dengan masyarakat.
6. Perusahan Besar Sawit melakukan pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan dan lahan dengan mengikuti rencana kerja tahunan perusahaan. Sebaran api kebakaran dapat dilihat dengan bantuan dari data hotspot melalui Satelit NOAA 18/MODIS, dimana data tersebut akat tergambar bahwa Hotspot berkumpul pada lokasi tertentu mengikuti RKT perusahaan dan Hotspot muncul dengan periode yang teratur (dengan hari yang berturut-turut)
Beberapa modus di lapangan yang dilakukan para pembakar hutan dan lahan di atas memberikan gambaran bagaimana Polri dapat mengoptimalkan beberapa skenario pemolisian. Aspek teknis pertanian-perkebunan seyogyanya dapat menjadi pertimbangan dasar dalam melihat ciri-ciri lingkungan yang menjadi target perluasan perkebunan dengan cara pembakaran.
Setelah diketahui aspek teknisnya, pemolisian perlu mengidentifikasi korban kerugian karhutla dalam masyarakat.
Laporan CIFOR (2003) mencatat bahwa terdapat korban kerugian akibat karhutla yang jarang diperhatikan, yakni kerugian yang diderita oleh berbagai sektor pedesaan. Hal ini dikuatkan oleh kurangnya ketersediaan data mengenai dampak terhadap pedesaan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal.
Kemungkinan isu ini kurang mendapat perhatian karena terlalu banyak organisasi yang terlibat dalam penilaian dampak kebakaran hutan. Sebagian besar perhatian organisasi tersebut diberikan pada dampak terhadap hutan dan keanekarahaman hayati. Kemungkinan dampaknya terhadap sektor pedesaan kurang penting, sehingga membatasi perhatian para pemangku kepentingan nasional dan lokal mengenai topik ini dan/atau juga merupakan penilaian yang sulit dan mahal untuk dilakukan.
Data yang tersedia (Jhamtani dan Badawi, 1998; Oosterman dan Widayat, 2001) menunjukkan bahwa paling sedikit ada beberapa kawasan pedesaan yang kemungkinan terkena dampak kebakaran hutan liar. Selain itu ada laporan-laporan potensi dampak negatif kabut asap terhadap produksi pertanian, misalnya kelapa sawit (Casson, 2000).
Realita ini perlu ditangkap oleh Polri guna membangun suatu upaya pemolisian berbasis aspek-aspek pedesaan. Karena, dalam keterkaitan inilah Kepolisian sebagai lembaga pelayan masyarakat yang melakukan pemolisian berbasis masyarakat atau Polmas (community policing) perlu mengidentifikasi pentingnya polisi hadir di tengah-tengah masyarakat.
Polmas sendiri merupakan filosofi tentang pelayanan pemolisian seutuhnya, personalisasi layanan, penempatan anggota secara tetap pada suatu wilayah, desentralisasi, serta anggota dan warga bermitra secara proaktif menangani berbagai masalah kejahatan, ketakutan akan kejahatan, ketidaktertiban, dan kualitas hidup warga setempat. []
