Pengabdian
Pemolisian Pembakaran Hutan dan Lahan
Setiap fenomena harus dapat dianalisis dan disikapi kepolisian guna terselenggaranya upaya pemolisian, apabila fenomena tersebut menyebabkan terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Upaya terakhir dari fenomena adalah ditegakkannya hukum guna memberikan efek jera bagi para pelaku dan mencegah terulangnya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat di masa mendatang.
Salahsatu fenomena yang sering terjadi di Indonesia adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Fenomena ini hampir setiap tahun terjadi di Indonesia. Kondisi musim, iklim, dan lingkungan secara hukum kausalitas dapat memberikan penjelasan karhutla sebagai bencana. Namun, tidak sedikit masyarakat dan media melihat adanya unsur perbuatan manusia yang melatarbelakangi terjadinya karhutla.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana yang mengerikan bagi masyarakat yang tinggal di daerah tropis. Disebut bencana karena memberikan dampak kerugian bagi masyarakat, seperti terjadi pada akhir 2015 lalu, kebakaran melanda wilayah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Polusi udara yang diakibatkan asap dari kebakaran melingkupi sebagian besar provinsi-provinsi tersebut. Sehingga, masyarakat harus bernafas dengan udara dengan sedikit kandungan oksigen dalam kurun waktu hampir tiga bulan.
Bukan hanya kerugian kesehatan yang diderita masyarakat, tetapi juga kerugian ekonomi akibat tidak kondusifnya lingkungan.
Kementerian Kesehatan mencatat bahwa asap yang berasal dari kebakaran hutan, mencakup kayu dan bahan organik lain mengandung campuran gas, partikel, dan bahan kimia akibat pembakaran yang tidak sempurna. Sementara itu kerugian ekonomi ditasir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) lebih dari Rp 20 triliun pada masing-masing provinsi.
Beberapa titik panas (hotspot) juga terjadi pada wilayah hutan di daerah Jawa. Tetapi, tingkat keparahan dan dampak yang ditimbulkan jauh lebih rendah dibandingkan yang terjadi di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa dalam kurun waktu terjadinya bencana kebakaran tengah terjadi musim panas yang bersamaan dengan angin panas.
Musim kemarau panjang yang bertemu dengan gelombang panas mampu menyulut wilayah tropis pada hutan gambut dan lahan datar. Aktifitas perusahaan perkebunan juga menjadi faktor pemicu dari kebakaran. Bahkan perubahan musim seringkali dijadikan alibi oleh perusahaan perkebunan untuk perluasan lahan dengan cara pembakaran lahan dan hutan. Sejauh ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menemukan terdapat 413 perusahaan yang diindikasikan melakukan pembakaran hutan pada wilayah-wilayah gambut.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pelaksanaannya, pemolisian pada masalah karhutla memiliki suatu gaya dan corak pemolisian tersendiri dibandingkan dengan pemolisian pada masalah kriminal yang lain.
Pembakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan harus dikenakan sanksi pelanggaran. Pada beberapa kasus pelanggaran karhutla, Polri mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan atas pelanggaran yang terjadi.
Meskipun demikian, polisi seringkali dihadapi kesulitan dalam pembuktian aktor utama yang melakukan pembakaran. Polisi di lapangan sejauh ini teruji dalam perolehan barang bukti dan pelaku pembakaran.
Kesimpulan yang diperoleh dalam contoh kasus ini adalah pentingnya pemolisian berbasis komunitas (community policing) guna meningkatkan fungsi harkamtibmas dalam mencegah pelanggaran pembakaran hutan. Bentuk pemolisian harus memperhatikan karakteristik pedesaan, untuk menjamin saluran informasi tetap dapat dilaporkan kepadan kepolisian tanpa terkendala kondisi wilayah hutan yang sangat luas. []
