Connect with us

Ahriesonta.id

Dinamika Hubungan Polisi-Warga

Ilustrasi polisi dan masyarakat di kawasan Gunung Kelud (istimewa/merdeka.com).

Pengabdian

Dinamika Hubungan Polisi-Warga

Realitas hubungan polisi dan masyarakat agak kurang menggembirakan. Dalam keterbukaan informasi dan jangkauan media yang semakin luas, berbagai pelanggaran anggota kepolisian yang merupakan bentuk nyata permasalahan konservatisme kepolisian yang dapat diidentifikasi secara terbuka.

Dalam rentang waktu yang tidak dibatasi, pelanggaran anggota kepolisian yang terdokumentasi di media-media online mencapai jumlah 448.000 hasil, dengan waktu pencarian hanya 0,65 detik (kunci pencarian di search engine Google: “pelanggaran oknum anggota polisi”). Beberapa bentuk pelanggaran yang mengemuka meliputi: kekerasan yang dilakukan polisi terhadap masyarakat, pemerasan terhadap pelaku kejahatan, penyalahgunaan dan bandar narkoba oleh anggota polisi, suap dan kerja sama polisi dengan penghuni lapas, perbuatan tidak bertanggungjawab terhadap perempuan, penyalahgunaan senjata api diluar tugas sebagai polisi, pencatutan nama pimpinan Polri oleh anggota polisi, penggelapan barang bukti, dan pembekingan terhadap kejahatan masyarakat.

Fakta data di atas harusnya menjadi suatu evaluasi tersendiri bagi kepolisian, bahwa pelaksanaan tugas setiap polisi di mana pun dapat diketahui oleh publik. Maka, penting bagi polisi untuk menerapkan suatu standar etika dalam pelaksanaan tugasnya.

Juntunen dan Käyhkö (2008) mengemukakan bahwa memasukkan pertimbangan etika dalam organisasi kepolisian memiliki banyak sisi dan bersifat kompleks. Tetapi kajian etika memiliki arti penting dalam studi kepolisian, karena berkaitan langsung dengan fenomena korupsi kepolisian (police corruption) yang menimbulkan efek mematikan terhadap organisasi, antara lain hilangnya kepercayaan publik.

Perlu adanya suatu kombinasi antara rule-based definition dan value-based definition, dalam melihat fenomena perilaku dalam organisasi kepolisian. Tujuannya adalah memperluas domain permasalahan yang dibahas, yakni mencakup “police corruption and other unethical behaviour”.

Permasalahan yang dihadapi lembaga kepolisian dalam masyarakat modern, tidak berhenti pada korupsi belaka, melainkan perlu memasukkan bentuk-bentuk lain dari perbuatan tidak benar secara moral (police misconduct). Atau dengan kalimat lain, polisi tidak hanya diharapkan bertindak sesuai aturan, melainkan juga bertindak secara etis.

Titik-berat rule-based approach adalah “deontological” atau model berbasis kepatuhan (compliance-based model) yang ditandai dengan manajamen melalui aturan-aturan dan prosedur. Adapun value-based approach lebih menekankan “teleological” atau model berbasis integritas (integrity-based model) yang ditandai dengan manajemen dan kepemimpinan yang diukur melalui kepuasan publik dan warga masyarakat yang dilayani.

Kombinasi kedua model pendekatan inilah yang diharapkan mampu menciptakan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi.

Berbagai studi menggambarkan konservatisme budaya sebagai suatu permasalahan mendasar dalam reformasi organisasi kepolisian di berbagai negara (Chan, 2004; Lau, 2004; Chauci, 2004; Yildiz, 2001).

Ciri-ciri konservatisme budaya terutama berangkat dari paradigma lama kepolisian sebagai institusi yang menyandang misi memerangi kriminalitas (waging a war againts crime), yang diciptakan dan dipertahankan melalui proses-proses politik untuk mendukung konsepsi dominan tentang ketertiban masyarakat.

Karena posisi simboliknya sebagai kekuatan pelindung dan moralitas masyarakat, maka petugas polisi diberi kewenangan luas untuk memberhentikan, bertanya, menahan, menggeledah dan menangkap tersangka; dengan bentuk-bentuk akuntabilitas internal yang seringkali tidak transparan.

Balai Kemitraan Polisi dan Masyarakat (istimewa/jica.go.jp).

Corak diskresi di Indonesia misalnya dapat dilihat dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas di Polres Blambangan, bahwa tindakan-tindakan diskresi yang menyimpang adalah akibat lemahnya sistem kontrol dan kendali, yang ditunjukkan adanya tindakan-tindakan kolusi antara penyidik dan penyidik pembantu dengan pihak tersangka, kejaksaan, dan pengadilan.

Lihat juga pola-pola pemolisian di Polres Batang, yang menunjukkan bahwa pola-pola pemolisian tradisional yang bersifat mengawasi dan mengontrol masih ditemukan bercampur dengan pola-pola pemolisian modern yang bersifat melayani, dimana terdapat hubungan tidak seimbang antara polisi dan masyarakat, sehingga membuka peluang terjadinya berbagai tindakan penyimpangan.

Padahal aspek perubahan kelembagaan dengan dilahirkannya berbagai regulasi dan peraturan baru untuk internal organisasi Polri seharusnya mendorong proses perubahan budaya Polri (Backer, 2009). Meskipun perubahan budaya tidak mudah dan membutuhkan waktu yang relatif lama (Kadarmanta, 2007). Hal ini menunjukkan adanya suatu permasalahan mendasar yang masih menghambat perubahan budaya dalam institusi kepolisian.

Permasalahan yang dialami kepolisian Indonesia sebenarnya juga terjadi di berbagai negara lainnya. Budaya kepolisian Malta yang identik dengan konservatisme, dicirikan dengan: kekerasan verbal dan fisik (verbal and physical harshness), intoleransi politik, ketakutan, kepatuhan tanpa syarat kepada yang memegang komando, keteguhan (firmness) dan sikap keras kepala (hard-headedness).

Analisis kultur dan sub-kultur dalam organisasi kepolisian Turki juga ditemukan adanya kekerasan polisi secara kultural telah tertaman dalam SOP (operational code) yang ada dalam kelompok-kelompok petugas polisi, sehingga memperbolehkan kekerasan dalam situasi-situasi tertentu dan dianggap perilaku yang logis, dapat dimaklumi, atau setidaknya bentuk-bentuk perilaku yang dimaafkan.

Aspek etika memiliki tempat tersendiri dalam reformasi budaya kepolisian, karena budaya dikenali sebagai salah satu faktor yang kerap menyebabkan perilaku penyalahgunaan wewenang di tubuh kepolisian.

Oleh karena itu, perubahan budaya sangat penting untuk menangkal sebab-sebab perilaku penyimpangan yang dilakukan petugas di lapangan. Perilaku penyalahgunaan wewenang polisi disebabkan kelemahan dari empat faktor yaitu: (1) rekrutmen, pelatihan dan promosi, (2) sumber daya (gaji dan peralatan), (3) sistem akuntabilitas pada sistem internal organisasi, pengadilan dan hukum, (4) budaya yang melekat pada standar profesi kepolisian. []

Klik untuk komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

three × one =

Ke Atas