Connect with us

Ahriesonta.id

Keamanan Nasional, Sebuah Sistem yang Belum Sempurna

Ilustrasi keamanan nasional (istimewa/tempo.co).

Pemikiran

Keamanan Nasional, Sebuah Sistem yang Belum Sempurna

Konsepsi keamanan nasional masih jauh dari kata sempurna. Hal ini dilatarbelakangi belum terealisasinya suatu undang-undang tersendiri yang mengatur pelaksanaan keamanan nasional. Selama ini keamanan nasional merujuk pada acuan dasar UU Polri dan UU TNI.

Padahal kedua UU tersebut bersifat tata kelola tugas pokok dan fungsi (tupoksi) institusi pertahanan dan keamanan. Dimana, kepolisian diperintahkan UU dengan tupoksi pelindung-pengayom-pelayanan masyarakat (linyomyan), memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas), dan penegakkan hukum (gakkum). Maka, tafsir bebasnya keamanan nasional berada dalam wilayah tupoksi kepolisian.

Implementasi keamanan nasional (kamnas) sebenarnya jauh lebih kompleks dari sekedar konsepsi. Terutama, jika dikaitkan dengan struktur kelembagaan pemerintah yang tidak hanya dikotomik militer-kepolisian, tetapi juga mencakup intelijen dibawah Badan Intelejen Negara (BIN).

Belakangan, pelaksanaan kamnas juga bersentuhan dengan wilayah operasional yang beririsan dengan perangkat kementerian lainnya, mencakup: informasi dan telekomunikasi, kelautan dan maritim, sosial, ekonomi, dan berbagai dimensi pemerintahan lainnya.

Meski demikian, percaturan publik selalu mengerucut pada dikotomik militer-kepolisian. Hal ini dilatarbelakangi phobia masyarakat demokratis terhadap masa lalu militer yang menjadi bagian kekuasaan.

Masyarakat demokratis yang selalu apriori dengan relasi kekuasaan merupakan suatu kesadaran politik bangsa dalam bernegara. Meskipun terkadang, apriori yang berkembang di Indonesia menjadi sesuatu yang ‘berisik’.

Semata-mata karena penyakit phobia yang akut tertanam dalam kehidupan sosial yang terus-menerus mengalami reproduksi wacana melalui media, terlebih saat ini informasi berkembang pesat melalui sosial media. Dasar apriori ini bukan saja tertuju pada militer, tetapi secara luas ditumpahkan pada pemerintah.

Lantas bagaimana masyarakat demokratis menilai kedudukan Polri saat ini? Secara tata kelola, meskipun kepolisian telah dilepaskan dari institusi militer sejak tahun 1999, tetapi masih ada peluang ditarik ke dalam pusaran pertarungan kepentingan ekonomi-politik. Pasca pisah dari militer, harapan masyarakat terhadap polisi tidak terealisasi, khususnya dalam mengedepankan cara-cara persuasif.

Belum optimalnya peran polisi dalam upaya persuasif menambah daftar lemahnya eksistensi Polri atas aktor-aktor keamanan lainnya, khususnya TNI. Secara kelembagaan, Polri selalu kalah secara kalkulatif dalam perumusan RUU Kamnas.
Perumusan RUU Kamnas yang berasal dari luar institusi kepolisian, jelas selalu ditolak oleh Polri secara reaktif. Padahal mengacu pada Hinton, disinyalir bahwa penolakan kepolisian untuk mereformasi dalam konteks upaya menata koordinasi antar institusi keamanan, yang merupakan suatu permasalahan serius negara dengan karakteristik birokrasi dan budaya masyarakat yang kental dengan pengaruh otoritarianisme.

Adapun peluang kepolisian ditarik dalam pusaran pertarungan kepentingan ekonomi-politik dapat dengan jelas terlihat dari belum independennya penataan kepolisian dari tarik-menarik otoritas presiden dengan legislatif. Contoh yang dapat terlihat dengan mudah adalah pengajuan anggaran dan penentuan jabatan Kapolri.

Alam demokratis yang mensyaratkan partisipasi check and balance yang akhirnya memaksa Polri, secara institusi, terlibat dalam permainan politik pemerintahan. Seperti tidak ada jalan keluar, tetapi hal yang paling memungkinkan bagi situasi seperti ini adalah menciptakan institusi kepolisian yang semakin diterima di hati masyarakat.
Memenangkan hati masyarakat bukan hal mudah, kecuali kepolisian semakin mengoptimalkan tupoksi pencegahan (antisipasi) di atas penindakan/ penanggulangan (mitigasi).

Tupoksi antisipasi terdiri dari fungsi harkamtibmas dan linyomyan, sementara mitigasi adalah gakkum. Indeks Tata Kelola (ITK) kepolisian (2014) menunjukkan bahwa pelaksanaan antisipasi masih terkendala jumlah anggota. Dalam keterbatasan sumberdaya manusia, terdapat juga tren di berbagai Kepolisian Daerah (Polda) lebih mengutamakan karir pada satuan mitigasi.

Selama ini, demi merealisasikan tugas harkamtibmas anggota polisi banyak yang dibebankan pekerjaan ganda. Seperti, anggota satuan reserse dan intelkam diperbantukan pada fungsi Bhabinkamtibmas. Kendala-kendala yang mengemuka mengakibatkan fungsi antisipasi tidak berjalan optimal.

Fungsi polisi optimal dalam kamnas berarti harus optimal dalam menyelenggarakan fungsi harkamtibmas dan linyomyan. Keterbatasan sumberdaya kepolisian tidak boleh menjadi kendala dalam penyelenggaraan fungsi antisipasi. Maka, perlu suatu strategi pembauran polisi yang lebih persuasif dalam pemolisian masyarakat.

Model pembauran polisi di tengah-tengah masyarakat merupakan suatu alternatif gaya pemolisian guna memenangkan hati masyarakat, bahwa peran polisi sangat besar dalam upaya penegakkan kamnas yang lebih humanis. []

Klik untuk komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

14 + 13 =

Ke Atas