Connect with us

Ahriesonta.id

Fenomena Polisi Bunuh Diri, Bagaimana dan Mengapa Bisa Terjadi? Seri 4

Ilustrasi polisi dalam sebuah penyergapan (istimewa/aktual.com).

Penghayatan

Fenomena Polisi Bunuh Diri, Bagaimana dan Mengapa Bisa Terjadi? Seri 4

Dua contoh tindakan bunuh diri polisi di Indonesia menunjukkan adanya ketertutupan personal polisi terhadap rekan kerja. Ketiadaan kepercayaan terhadap rekan kerja secara tidak langsung memberikan stimulasi stres pada personel polisi, karena ia memendam masalah pribadi sendirian. Maka, tidak salah jika para psikolog di berbagai media mengemukakan perlunya suatu layanan konseling pada setiap kantor polisi. Meskipun, pembukaan layanan ini akan memberikan konsekuensi tertentu bagi organisasi, misalnya keterbatasan anggaran yang dimiliki Polri. Hal yang paling penting untuk mengkaji permasalahan psikologi, sebenarnya perlu dilihat secara fundamental makna dari kebutuhan psikologi tersebut.

Terdapat dua karakteristik penting dalam mengidentifikasikan hubungan antarpribadi, pertama, hubungan antarpribadi berlangsung melalui beberapa tahap mulai dari tahap interaksi sampai ke pemutusan (dissolution). Kedua, hubungan antarpribadi berbeda-beda dalam hal keluasan dan kedalamannya. Knapp (1984) dan Wood (1982) dalam DeVito (1996), mengemukakan bahwa sebagian besar hubungan mungkin sama, dan berkembang melalui tahap-tahap. DeVito (1986) menjelaskan terdapat lima tahapan yang menjelaskan pengembangan sebuah hubungan, yaitu :

• Kontak, pada tahap ini personal membuat kontak berdasar persepsi indra, antara lain indra penglihatan, pendengaran, dan membaui seseorang. Pada tahap ini penampilan fisik begitu penting, karena dimensi fisik paling terbuka untuk diamati secara mudah. Namun demikian, kualitas-kualitas lain seperti bersahabat, kehangatan, keterbukaan dan dinamisme juga terungkap pada tahap ini.
• Keterlibatan, tahap keterlibatan merupakan tahap pengenalan lebih jauh, ketika personal mengikatkan diri untuk mengenal orang lain dan terlibat dalam urusan-urusan orang tersebut.
• Keakraban, personal mengikat diri lebih jauh pada orang tersebut. Personal mungkin membuka hubungan primer, para personal dapat saling memberikan klaim atas hubungan yang terjadi dalam bentuk sahabat baik. Komitmen ini dapat mempunyai berbagai bentuk seperti, mengungkapkan rahasia terbesar.
• Perusakan, sebagai tahap penurunan hubungan pertama ketika ikatan di antara kedua pihak melemah. Pada tahap ini personal mulai merasa bahwa hubungan ini tidaklah sepenting yang dipikirkan sebelumnya. Mereka berdua semakin jauh. Namun terkadang diselimuti kebimbangan untuk tetap menjaga hubungan hanya sekedar karena membutuhkannya saja, atau justru mencari bentuk hubungan yang sama, tetapi dengan orang lain yang berbeda. Tahap ini penuh dengan konflik yang muncul ke permukaan.
• Pemutusan, tidak lain adalah tahap personal memutuskan ikatan kedua belah pihak.

Karakteristik pengidentifikasian kedua mengenai keluasan dan kedalaman hubungan, diuraikan menurut jumlah topik yang dibicarakan oleh dua orang serta derajat kepersonalan yang mereka lekatkan pada topik-topik itu (Altman dan Taylor, 1973). Banyaknya topik yang dikomunikasikan disebut sebagai keluasan (breadth). Sedangkan derajat dalamnya kepersonalan sebagai inti dari individu disebut derajat kedalaman (depth). Dalam komunikasi antar pribadi derajat keluasan dan kedalaman sangat dipengaruhi oleh kemampuan komunikan dan komunikator dalam memahami simbol-simbol dan maksud di dalam komunikasinya.

Iklim kerja yang tidak memadai dapat menstimulus stres orang yang bekerja di dalamnya terhadap target yang tidak tercapai, terlalu berambisi, deadline kerja yang tidak realistis, konflik yang tidak pernah selesai, dan lain sebagainya. Meningkatkan lingkungan kerja membutuhkan upaya-upaya modern, humanisme, dan kebijakan personal yang konsisten, yang mana hal itu tidak hanya mempertimbangkan faktor yang bersifat material tetapi juga mencakup perbaikan pada hubungan manusianya dan latihan-latihan yang diperlukan. Bunuh diri sebagai epidemik, harus dipastikan melalui suatu investigasi yang komprehensif pada suatu lingkungan kerja. Terutama, resistensi individual atas pencarian kesehatan mental yang mengkristal dari aktifitas yang dilakukannya sehari-hari.

Polisi secara pekerjaannya menghadapi dampak dari pembunuhan, kekerasan, kecelakaan, bencana, dan perilaku pelanggaran terhadap hukum secara berkelanjutan. Semua yang dihadapi oleh polisi selama bertugas adalah bahan/stimulan amarah yang sangat mudah menerpa polisi, baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini dikarenakan secara manusiawi polisi akan memiliki empati terhadap keadaan yang dihadapinya. Ketakutan akan suatu hal yang dialami polisi sebagai individu dapat mengalami hyperbola akibat pengalaman melihat dan menghadapi hal-hal buruk pada saat bertugas. Pada saat demikian jika informasi bunuh diri berkembang di masyarakat, maka bukan hal yang tidak mungkin bunuh diri menjadi suatu pilihan yang ditempuh oleh individu polisi yang mentalnya sedang sakit atau lemah.

Permasalahan kesehatan mental polisi ini agaknya dapat menjadi suatu perhatian atas kinerja polisi dalam menyelesaikan kasus-kasus yang dilaporkan masyarakat. Dalam data BPS yang dihimpun dari kepolisian daerah (Polda) di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa dari 100 persen kasus yang ditemukan setiap tahunnya hanya mampu diselesaikan sekitar separuhnya saja. Meskipun demikian, kinerja Polri dalam penyelesaian kasus tindak pidana terus mengalami kinerja yang membaik setiap tahunnya. Perihal ini juga berkaitan dengan temuan lapangan yang seringkali menunjukkan bahwa polisi dalam menerima laporan masyarakat melakukan pungutan tertentu. Secara psikologi, hal ini merupakan upaya penghindaran (avoidance) karena beban kerja yang terlalu banyak. Sehingga, uang pungutan yang menjadi prioritas untuk ditangani polisi. Oleh karena itu, pentingnya shifting kerja dan rasio beban kerja merupakan syarat bagi kesehatan mental. Berikut tren kinerja kepolisian dalam penyelesaian kasus tindak pidana.

Sumber: BPS 2016.

Kesehatan mental erat kaitannya dengan hubungan sosial yang terbangun di dalam lingkungan kerja. Penghindaran masalah keamanan yang dilaporkan masyarakat menjadi suatu predikat buruk pada kinerja kepolisian. Ada adagium yang mengatakan bahwa orang baik ketika masuk polisi akan menjadi jahat. Hal ini dikarenakan orang baik pada akhirnya harus menerima kenyataan beban kerja dan shifting kerja yang sangat terbatas di kepolisian. Rasio polisi terhadap masyarakat masih sebesar 1:575 pada 2014, yang menunjukkan beban kerja yang sangat berat bagi setiap individu polisi. Analisis mengenai hal ini memang membutuhkan data yang komprehensif, tetapi secara tidak langsung menunjukkan bagaimana seorang polisi akan mensiasati permasalahan yang dihadapinya dan menjadi suatu kesadaran bersama dengan anggota polisi yang lain.

Dalam melihat hubungan komunikasi diantara para anggota polisi tersebut, penting dipahami bahwa komunikasi yang terjalin diantara sesama anggota polisi merupakan suatu ikatan sosial yang harus dimaknai secara fundamental hal-hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi sehingga dalam ketatnya menjalankan tugas, tetap terbangun hubungan sosial yang baik. Patut untuk disadari bahwa komunikator yang efektif mengendalikan interaksi untuk kepuasan kedua belah pihak. Sehingga dalam manajemen interaksi yang efektif tidak seorang pun merasa diabaikan atau merasa menjadi tokoh penting. Masing-masing pihak berkontribusi dalam keseluruhan komunikasi.

Menjaga peran sebagai pembicara dan pendengar, melalui gerakan mata, ekspresi vokal, serta gerakan tubuh dan wajah yang sesuai. Saling memberikan kesempatan untuk berbicara merupakan keterampilan manajemen interaksi. Begitu juga menjaga percakapan terus mengalir dengan lancar tanpa keheningan panjang yang membuat orang merasa canggung dan tidak nyaman merupakan tanda dari manejemen interaksi yang efektif. Dalam kondisi konflik, manajemen interaksi belumlah cukup untuk membangun pola komunikasi untuk mencapai tujuan lebih lanjut yang diinginkan dari hubungan tersebut, maka dalam hal ini manajemen konflik merupakan pengetahuan yang sangat penting. Dalam konflik antarpersonal, prinsip efektifitas menghadapi ujian paling berat. Selama konflik, antarpribadi hampir tidak mungkin menahan diri sejenak, menganalisis situasi, dan mengevaluasi prinsip efektifitas yang mungkin paling relevan.

Pada dasarnya konflik adalah perkelahian, peperangan, atau perjuangan (Webster, 1966). Secara lebih spesifik, Pruitt dan Rubin (1986) mendefinisikan konflik sebagai sesuatu perbedaan persepsi mengenai kepentingan dan bukan sebagai perbedaan kepentingan yang sesungguhnya. Maka berdasar definisi spesifik di atas, manajemen konflik tidak lain adalah upaya pemilihan strategi untuk meramalkan apa yang akan dilakukan orang dalam kondisi perbedaan persepsi kepentingan. Ada pula yang mengungkapkan cakupan dari definisi konfliknya sendiri, sejatinya sebagai perbedaan kepentingan. Banyak strategi yang dapat dilakukan dalam konflik. Pruitt dan Rubin (1986) membuat sebuah model kategorisasi tindakan dalam lima bentuk, sebagai berikut :

1. Bertanding (contending), yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lain.
2. Mengalah (yielding), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan. Masing-masing pihak bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya mereka inginkan untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak.
3. Pemecahan masalah (problem solving), yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Biasanya dalam hal ini pihak-pihak yang bersebrangan menggunakan pihak ketiga untuk mentenggarai konflik (perundingan).
4. Menarik diri (withdrawing), yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis. Withdrawing melibatkan pengabaian terhadap kontroversi, sedangkan di dalam ketiga strategi yang lain terkandung upaya mengatasi konflik yang berbeda satu sama lain.
5. Diam (inaction), yaitu tidak melakukan apa pun. Walaupun sebuah konflik diselesaikan melalui perundingan, tetapi inaction ini sangat mendominasi prosesnya. Hal ini bukan disebabkan karena para pemimpin yang berunding lamban, atau merupakan pengambil keputusan yang tidak mampu bersikap tegas, tetapi karena prosesnya dirancang seperti itu. Masing-masing pihak saling menunggu langkah dari pihak lainnya untuk direspon dalam bentuk tindakan berikutnya.

Adapun bentuk aplikatif dari manajemen konflik, variannya sangatlah banyak. DeVito (1996) membaginya ke dalam bentuk tindakan yang tergolong manajemen konflik yang tidak produktif dan manajemen konflik yang efektif dan produktif. Manajemen konflik yang tidak produktif, mengidentifikasi manajemen yang tidak efektif ini harapannya supaya tidak terjebak dan dapat mengurangi tindakan-tindakan yang tidak produktif. Adapun beberapa tindakan tersebut antara lain:

• Penghindaran, non-negosiasi, dan redefinisi ditunjukkan dalam bentuk pelarian fisik seperti meninggalkan ruang konflik, tidur, menyetel musik keras-keras. Pelarian emosional dan intelektual seperti tidak menanggapi argumen atau masalah yang dikemukakan.
• Pemaksaan, ditunjukkan dalam bentuk intimidasi fisik maupun emosional.
• Minimasi, ditunjukkan dalam bentuk tindakan menganggap remeh masalah atau perasaan orang lain.
• Menyalahkan, dalam pengertian tindakan atau ucapan yang menyalahkan orang lain.
• Peredam, melakukan tindakan yang dapat meredam konflik, seperti menangis, tindakan emosional yang hyper seperti menjerit-jerit, pura-pura pingsan.
• Karung goni, tindakan menimbun kekecewaan yang lalu-lalu, lantas kemudian menumpahkannya pada lawan bertengkar saat setiap masalah memuncak.
• Manipulasi, salah satu pihak berusaha mengalihkan konflik dan bersikap mempengaruhi.
• Penolakan pribadi, tindakan menolak keinginan orang lain sehingga dengan cara seperti itu dapat memenangi konflik.

Adapun manajemen konflik yang efektif dan produktif seperti diutarakan Bach dan Wyden (1968) dalam DeVito (1996) menuturkan pedoman ampuh untuk menjadikan sebuah konflik antarpersonal lebih produktif, yakni sebagai berikut:
• Berkelahi secara sportif, menuntaskan konflik dengan benar-benar mencari kebenaran yang paling benar.
• Bertengkar secara aktif, terdapat rencana peran aktif dalam konflik.
• Bertanggung jawab atas pikiran dan perasaan, menyemai tindakan dengan mengungkapkan kejujuran atas apa yang dipikirkan dan dirasakan.
• Langsung dan spesifik, menuntaskan konflik dengan mengangkat masalah yang terjadi pada waktu itu saja, atau tidak melebar.
• Menggunakan humor untuk meredakan ketegangan, humor dalam hal ini bukanlah untuk mengejek, melainkan untuk mencairkan suasana.

Dalam hubungan kerja, permasalahan konflik yang terjadi pada anggota polisi dianggap dapat diselesaikan dengan pemutasian wilayah kerja. Tetapi, sebenarnya hal itu hanya menunda permasalahan dapat muncul di permukaan. Melengkapi upaya-upaya tersebut, memang ada baiknya kepolisian secara institusi memperhatikan berbagai standar kebutuhan non material polisi, mencakup:kesehatan mental secara berkala, check up berkala psikologi, metode dan standar perekrutan, pendidikan dasar, lingkungan kerja yang kondusif, tekanan kerja, kesejahteraan, dan latar belakang personal, perilaku, serta sistem kepercayaan dan ideologi calon anggota polisi. []

Klik untuk komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 × 1 =

Ke Atas