Connect with us

Ahriesonta.id

Fenomena Polisi Bunuh Diri, Bagaimana dan Mengapa Bisa Terjadi? Seri 3

Ilustrasi Police Suicide dengan saling menggandeng antar anggota (istimewa/npr.org).

Penghayatan

Fenomena Polisi Bunuh Diri, Bagaimana dan Mengapa Bisa Terjadi? Seri 3

Penelaahan masalah bunuh diri polisi di berbagai negara memiliki beragam pendekatan. Secara mendasar administrasi sebagaimana dilakukan oleh lembaga Police Suicide Study, analisis dimulai dengan analisis data, mencakup: date, location, department, age, rank, time on the job, means of suicide, circumstances leading to the suicide, emotional state of the officer prior to the event, known trauma prior to the event, dan statements by departments and medical examiners.

Beberapa temuan objektif menunjukkan bahwa bunuh diri polisi di dunia secara umum terjadi pada rentang usia 35-39 tahun dengan masa kerja pada rentang 10-14 tahun, dan sebagian besar (64%) tindakan bunuh diri tersebut tidak dapat diperkirakan oleh lingkungan terdekatnya. Pada dasarnya menjadi aparat keamanan dan penegak hukum merupakan suatu profesi yang mengharuskan siap berhadapan dengan kejahatan. Maka kematian di mata polisi sudah menjadi komitmen sejak awal karirnya.

Kondisi ini benar dan baik jika orientasinya tetap ditujukan sebagai pelayan masyarakat. Secara statistik kelembagaan, tindakan bunuh diri sangat jarang terjadi. Sehingga, apabila ada personal yang melakukan bunuh diri merupakan suatu perilaku mental disorder yang merupakan tindakan tidak terhormat terhadap lembaga dan profesi (Violanti,Vena, dan Petralia, 1998).

Bunuh diri pada anggota kepolisian kerapkali dilakukan oleh anggota yang pangkatnya rendah atau dibawah sersan dengan modus menggunakan senjata api. Hal ini didasarkan penelitian Violanty (1997) pada beberapa kepolisian negara bagian di AS. Latar belakang personel dengan ciri tertentu juga dapat ditarik sebagai pemicu tindakan bunuh diri. Farberow, Kang, dan Bullman (1990) biasanya orang tersebut memiliki tingkat amarah yang meledak-ledak. Catatan lain dari para pelaku bunuh diri biasanya juga memiliki sifat permusuhan dan mudah tersinggung.

Anggota kepolisian biasanya mempertimbangkan bunuh diri erat kaitannya dengan latar belakang kekerasan dan tindakan kekerasan yang dilakukan pada berbagai jenis hubungan sosial, terutama hubungan suami-istri (D’Angelo, 2000). Adapun tindakan bunuh diri merupakan kepanjangan dari tindakan pembunuhan yang berbalik kepada diri sendiri (Palermo, 1994). Penelitian itu juga menunjukkan bahwa dari analisis pelaku kejahatan yang secara tersembunyi memiliki ciri-ciri orang agresif tidak dapat menyembunyikan kenyataan penolakan yang tidak diharapkan (unexpected rejection) dan kemungkinan perubahan hidup yang drastis (possibly a drastic life change), kerapkali memutuskan bunuh diri.

Untuk menganalisis tindakan bunuh diri pada anggota kepolisian di Indonesia, berikut ini disajikan data bunuh diri polisi sepanjang tahun 2015 dan kuartal pertama 2016.

Sepanjang kurun waktu 2015 telah terjadi tujuh (7) tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh polisi dari berbagai satuan dan wilayah tugasnya. Tindakan bunuh diri tersebar pada berbagai wilayah operasi dengan kesamaan modus yang dilakukan, yakni dengan menembak kepala. Dilihat dari motifnya latar belakang yang mendasari tindakan tersebut adalah permasalahan rumah tangga, asmara, dan permasalahan dengan rekan kerja. Sementara itu pada kuartal pertama 2016, angka bunuh diri mengalami lonjakan, yakni enam (6) orang yang dilakukan hanya dalam kurun waktu lima bulan pertama.

Modus tindakan bunuh diri dilakukan tidak hanya dengan menembak kepala, tetapi juga dilakukan dengan menggantung diri. Permasalahan yang melatarbelakangi tindakan bunuh diri pada tahun ini juga lebih didominasi permasalahan keluarga dan ekonomi keluarga.

Secara profesi, polisi erat berhubungan dengan kekerasan, kebencian, penderitaan, dan hal-hal lain yang sulit dimengerti masyarakat secara umum. Polisi juga terkadang menjadi sasaran dari perilaku negatif masyarakat tersebut. Hal ini sangat mudah ditemukan pada kasus-kasus di Indonesia belakangan ini, aksi terorisme, penodongan pengendara kendaraan, dan pembunuhan.

Kemunculan fenomena bunuh diri polisi akhir-akhir ini menarik berbagai pendapat psikolog di berbagai media nasional, bahwa terdapat kekurangan dalam iklim kerja kepolisian. Hal paling relevan dengan masalah bunuh diri adalah pekerjaan menjadi polisi membutuhkan penanganan psikologi dan perlunya perbantuan psikolog atau konseling di setiap kantor polisi.

Pendapat yang lebih ekstrim mengatakan bahwa fenomena ini jangan menyalahkan personel, tetapi yang harus disalahkan adalah sistem perekrutan dan komunikasi atau konsultasi pada institusi. Bunuh diri sebagai penyebab kematian yang tragis pada polisi pernah menonjol tahun 2012, pada kejadian anggota Polsek KP3 Pelabuhan Tanjungwangi, Banyuwangi Jawa Timur atas nama Briptu Dody Setyawan. Ia menembak kepalanya sendiri sesaat setelah menerima panggilan telepon.
Pada waktu kejadian, ia sedang tugas piket bersama dua anggota yang lain. Diberitakan bahwa Briptu Dody kemudian menerima telepon di ruang Intelkam, yang kemudian menembak kepalanya sendiri. Pada berbagai sumber berita, tidak dijelaskan lebih jauh permasalahan yang dialami Briptu Dody. Kejadian serupa ini juga mengemuka pada fenomena di tahun 2016, yakni pada kasus Ipda Sapto Nugroho yang bertugas di Polres Tanjab Timur, Jambi. Ia melakukan bunuh diri dengan menggantung diri di parkiran kantor.

Violanti (2012) dalam penelitian eksperimental yang dilakukan terhadap polisi di Buffalo, Departement Polisi New York, menunjukkan bahwa hal terpenting dalam tugas polisi adalah kesehatan fisik, kondisi psikologi yang baik, aman dan efisien dalam bekerja. Faktor-faktor tersebut dapat mencegah tingkat stres dan trauma kekerasan pada polisi dalam menjalankan tugas-tugasnya. Meski demikian, upaya preventif bunuh diri polisi tidak dapat diserahkan kepada institusi kepolisian sendiri.

Organisasi kesehatan dunia (World Health Organization-WHO) menyadari ini sebagai fenomena yang harus menjadi perhatian bersama seluruh masyarakat, karena fakta ini melibatkan kehidupan sosial secara umum. Bunuh diri merupakan hasil dari hubungan kompleks dari berbagai faktor, diantara faktor-faktor tersebut, dan dapat diikuti oleh yang lain.

Lebih jauh dijelaskan bahwa mental disorder merupakan faktor utama tindakan bunuh diri, sebagaimana menjadi faktor yang menyebabkan 65%-95% bunuh diri di dunia. Oleh karena itu, berbagai penelitian di dunia menunjukkan mengetahui kesehatan mental seseorang adalah jalan yang harus ditempuh agar dapat mencegah berulangnya tindakan bunuh diri. []

Klik untuk komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

twelve − twelve =

Ke Atas