Penghayatan
Tinjauan Kritis Strategi Keamanan Nasional, Seri 2
Para penganut pendekatan realis mengidentikkan keamanan dengan dunia militer sebab menempatkan negara sebagai kekuatan dominan yang memerlukan berbagai perangkat untuk mempertahankan kedaulatan dan teritorinya. Secara harafiah tujuan keamanan diterjemahkan sebagai upaya agar terbebas dari bahaya, ketakutan, dan ancaman. Namun dalam teori keamanan, tujuan keamanan menjadi sangat sektoral, tergantung pada kapasitas aktor yang mengelolanya (Zeitoun, 2006).
Hingga saat ini belum ada kejelasan atau rujukan yang pasti mengenai konsepsi keamanan nasional di Indonesia. Belum ada satu pun ketentuan peraturan perundangan yang bisa menjadi rujukan utama mengenai konsepsi keamanan nasional, termasuk UU Pertahanan Negara, UU Polri, UU Intelijen Negara. Bahkan, pemisahan antara konsep pertahanan dan keamanan yang tertera dalam TAP MPR semakin memperluas ragam interpretasi konseptual.
Pemerintah tengah berupaya untuk mendorong pembahasan rancangan undang-undang (RUU) kamnas sejak tahun 2005 hingga saat ini. Ditelusuri secara mendasar, keamanan nasional dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945, dan dalam isi UUD tertuang dalam Pasal 30, penjelasan hal ini digambarkan sebagai berikut.
Jika keamanan nasional didefinisikan dengan kalimat pembukaan UUD 1945 maka berbunyi keamanan nasional sebagai fungsi dan upaya pemerintah dalam melindungi segenap bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dengan tafsir yang lebih civilized, berbagai aspek yang disebutkan adalah masyarakat sipil yang seyogyanya dapat bebas memperoleh hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Namun, paradigma yang berlaku sejak Indonesia merdeka kekuatan nasional dibuktikan secara militeristik, maka lingkup dan fungsi keamanan nasional berada dibawah domain militer.
Sejak berakhirnya perang dingin dan reformasi Indonesia menghendaki perbaikan tatanan kenegaraan, lingkup keamanan nasional secara otoritas berada dibawah komando Presiden, yang dimandatkan kepada aparatur sipil, dalam hal ini Kepolisian. Perubahan atau evolusi kebijakan keamanan nasional dapat digambarkan sebagai berikut.
Dalam perubahan aturan perundangan tersebut, hal yang paling prinsipil adalah perang dan fungsi militer pada domain penangkalan terhadap aspek ancaman eksternal dengan bentuk operasi militer perang (OMP). Adapun keamanan nasional yang merupakan bagian dari domain sipil, dalam sudut pandang militer dikenal sebagai operasi militer selain perang (OMSP).
Secara teoritik, pemisahan militer dalam domain sipil telah sesuai dengan perkembangan global, terutama tuntutan reformasi sektor keamanan (security sector reform-SSR). Dalam bahasan besar dari reformasi sektor keamanan tersebut dapat terlihat adanya tujuan pembangunan hubungan antara sipil dan militer. Hubungan tersebut merupakan fokus dari perbaikan kondisi-kondisi tersebut diatas.
Johanna Mendelson Forman menyatakan (Forman, 2000, 3) bahwa secara umum hubungan sipil-militer terfokus pada distribusi relatif kekuasaan antara pemerintah dan angkatan bersenjata sebuah negara. Lebih lanjut ia juga menyatakan bahwa mereka terlibat di dalam proses dimana kontrol sipil diukur dan dievaluasi dengan menimbang ‘pengaruh relatif dari perwira militer dan pejabat sipil dalam pengambilan keputusan terkait tentang keamanan internal, pertahanan eksternal, dan kebijakan militer (yaitu bentuk, ukuran, dan prosedur operasi dari organisasi militer).
Paradigma ini cukup luas menjadi pemahaman mendasar institusi militer pasca reformasi. Beberapa paparan di Tentara Republik Indonesia (TNI), fokus dan peran TNI dalam gelar kekuatan militer secara penuh hanya boleh dilakukan pada status negara dalam darurat perang dan itupun hanya bisa dilakukan setelah dinyatakan oleh Presiden.
Status bahaya yang lebih rendah dari status darurat perang –mencakup darurat militer, darurat sipil, dan tertib sipil– aparat sipil negara (Polisi) tetap menjadi pusat dalam tugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum terhadap masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 30. Paradigma TNI mengenai fungsi nonmiliter dijelaskan dalam gambar berikut ini.
Di atas kertas, kamnas telah menjadi suatu domain sipil yang ditegakkan dengan cara sipil. Namun, jika ditelusuri lebih jauh dalam operasionalisasi gelar kamnas, unsur militer seringkali masih tetap diikutsertakan oleh pemerintah. Hal ini menciptakan kapabilitas Polisi tidak berlaku optimal. Polri dengan kedudukan yang dijelaskan dalam UU No.2 tahun 2002 Tentang POLRI, tentu memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang memperhatikan aspek-aspek hak sipil.
Dengan arahan pemerintah yang seringkali menunjuk pelibatan militer, maka upaya penindakkan yang lebih civilized berlaku kurang optimal. Tinjauan aspek legal ini, mungkin cukup terbatas untuk memberikan contoh penanganan yang civilized, tetapi secara prinsip-prinsip demokrasi, hal ini bisa dijelaskan secara teoritik mengenai reformasi pada sektor keamanan dalam rangka meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan legitimasi terciptanya keamanan tidak hanya untuk negara tetapi juga untuk rakyatnya, dan menciptakan keadaan yang aman untuk pembangunan yang berkelanjutan. []