Pengabdian
Mengintip Budaya Ugahari dalam Pemolisian Masyarakat, Seri 1
Gandrungnya masyarakat terhadap modus kejahatan dan keterampilan polisi dalam mengungkap kasus-kasus kejahatan dapat terlihat dari semakin banyaknya program televisi yang mengulas berita kriminal. Dari sepuluh stasiun televisi swasta nasional, siaran program televisi yang mengangkat kriminalitas tersebut menjadi sebuah informasi, edukasi, dan gambaran harapan masyarakat bagaimana kepolisian Indonesia dapat bekerja dengan baik. Pada kajian internal kepolisian perkembangan ini tidak dipungkiri sebagai suatu keberhasilan pemolisian masyarakat yang masif di berbagai daerah.
Indeks Tata Kelola Kepolisian (ITK Polri, 2014) juga secara objektif memberikan peringkat Baik terhadap kinerja kepolisian. Meskipun diakui bahwa dalam pelaksanaan tugasnya masih terdapat predikat rendahnya kepercayaan publik terhadap kepolisian. Indikasi itu dijelaskan dengan masih terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan anggota kepolisian, slogan-slogan masyarakat yang memojokkan Polri, dan pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian menjadi pemberitaan yang masif di media massa.
Fakta diatas menunjukkan bahwa sudut pandang umum tugas polisi dalam perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta penegakkan hukum memang dapat distandarisasi dengan kriteria penilaian berbasis kinerja. Misalnya meliputi, seberapa sering polisi berhasil mengungkapkan kasus kejahatan, perilaku polisi yang baik dalam pekerjaannya, dan cepat-tepatnya polisi dalam mencegah kejahatan berkembang lebih luas.
Permasalahan kepolisian yang masih mengemuka tidak dapat dilihat dari statistik kinerja, melainkan harus dilihat secara lebih mikro, bahwa tugas kepolisian yang berinteraksi dengan masyarakat tidak terlepas dari permasalahan relatif, terutama dilihat dari sosiologi masyarakat daerah operasional. Ibarat melihat suatu organisme, kemudian diperbesar dengan teleskop, maka dalam tubuh organisme tersebut akan tampak hal-hal yang tidak bisa terlihat secara kasat mata.
Polisi setelah lulus dari kawah candradimuka pendidikan ditugaskan langsung di masyarakat harus memulai kerja dengan beradaptasi dengan lingkungan masyarakat di daerah tugasnya. Tanpa adaptasi yang baik, pemolisian masyarakat (polmas) tidak dapat berjalan lancar. Meski sampai saat ini publisitas kinerja kepolisian dalam menyelesaikan kasus kejahatan mendapat respon masyarakat secara baik, tetapi dalam keseharian tidak jarang ditemukan paradigma minor terhadap institusi kepolisian. Banyak ujaran atau istilah yang berkembang di masyarakat, seperti: kehilangan ayam akan menjadi kehilangan kambing jika melapor polisi.

Polisi bantu pasang rantai sepeda anak (istimewa/goriau.com)
Hal yang tidak jauh berbeda ketika orang tua menakut-nakuti anak kecil agar menurut (disiplin) dengan ujaran: jika tidak nurut nanti ada Pak Polisi datang. Tugas-tugas polisi hampir secara keseluruhan bersentuhan dengan masyarakat, sehingga kesalahan atau perilaku sekecil apapun jika tidak mencerminkan perilaku anggota Polri akan segera mendapat respon dan sengaja atau tidak sengaja disebarluaskan.
Permasalahan ini merupakan warisan budaya lama polisi sebelum masa reformasi. Lihat tulisan Untung S. Radjab dalam Polisi yang Elegan (2011). Buku tersebut merupakan bunga rampai tulisan dari penulis yang sudah terbit di media massa, dalam kurun waktu awal masa reformasi.
Dapat disimpulkan sementara, bahwa tugas polisi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat membutuhkan polisi yang santun, ramah, tetapi tetap tegas dan dapat dijadikan contoh teladan oleh masyarakat. Perilaku anggota Polri yang demikian merupakan harapan yang selaras dengan watak masyarakat demokratis atau, lebih spesifik lagi, masyarakat madani alias civil society. Civil society atau masyarakat madani adalah perwujudan dari Law Abiding Citizen yakni masyarakat yang sudah patuh terhadap hukum baik saat ada petugas maupun tidak. Dalam hal ini perilaku masyarakat sudah menjunjung tinggi norma-norma umum yang berlaku di lingkungan masyarakat.
Pemahaman atas kata civil juga perlu dikaitkan dengan civility yang secara harfiah berarti kesopanan. Untuk memahaminya secara tepat, kata civility sebaiknya dikaitkan dengan kata civilize yang berarti membudayakan dan membuat lebih sopan, serta kata civilization yang berarti peradaban, cara hidup, dan orang atau negara yang beradab. Dengan demikian, civility tidak bisa serta merta diartikan hanya sebagai kesopanan, melainkan mencakup pemahaman yang lebih luas, termasuk peradaban.
Polisi sipil bukan polisi kekuasaan meskipun menggunakan kekuasaan bukan sesuatu yang tabu dalam kepolisian. Implikasi pendekatan kemanusiaan dalam konsep kepolisian sipil adalah pada pengakuan polisi atas diri klien (setiap orang yang melakukan kontak dengan polisi) sebagai sosok yang memiliki martabat dan harga diri.
Dengan demikian, lebih dari sekadar menghadirkan rasa aman, menjamin kepastian hukum, dan memperlakukan klien secara fair, paradigma kepolisian sipil lebih esensial lagi mengharuskan polisi untuk selalu mengedepankan kesopanan dan keramahan, sekaligus sejauh mungkin menghindari penggunaan kekuatan. Polisi harus benar-benar memposisikan keberpihakannya kepada rakyat dalam pelaksanaan tugas.
Sosok polisi yang demikian digambarkan sebagai sosok polisi yang protagonis oleh Satjipto Raharjo dalam bukunya Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial di Indonesia (2002), yaitu polisi yang selalu melihat permasalahan dari posisi rakyat, apakah ia sudah menjadi pengayom dan pelindung masyarakat atau sekadar alat pemerintah untuk menegakkan hukum.
Untuk menjadi sosok polisi yang protagonis tersebut, anggota Polri harus memahami civility yang tidak hanya sebatas arti kesopanan saja tetapi sampai pada tingkat peradaban (Civilization) masyarakatnya yang hidup berlandaskan norma-norma yang dipatuhi oleh warganya. Oleh karena itu perilaku polisi yang hidup dan bertugas pada lingkungan masyarakat madani (Civil Society) harus berperilaku yang etis berdasarkan etika kepolisian yang mengatur norma dan nilai-nilai atau ukuran baik dan buruk yang berlaku pada kepolisian.
Dalam ilmu filsafat, perilaku polisi yang baik ini mencerminkan suatu keugahariaan. Tafsir secara bebasnya yakni, ketika seseorang sebagai individu mampu mengenal diri dan lingkungannya, maka individu tersebut akan berperilaku baik. Bagi seorang polisi, menjadi ugahari adalah suatu kewajiban, sesuai doktrin Tribrata yang mengharuskan setiap anggota polisi untuk berbakti kepada negara, menjunjung hukum, dan ikhlas dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban. Untuk merealisasikan Tribrata dalam konteks demokrasi kepolisian dituntut memiliki orientasi perubahan paradigma pada tubuh polisi, yang menempatkan polisi sebagai penegak ketertiban dibandingkan sebagai pemburu kejahatan.
