Pemikiran
Manajemen Adaptif Pada E-Policing
Urgensi Polisi Go Online adalah seperti seorang pengusaha bertanya mengenai apakah suatu barang akan laris jika didahului permintaan sebelum adanya penawaran, atau sebaliknya. Dalam hal inilah Kepolisian sebagai lembaga pelayan masyarakat yang melakukan pemolisian berbasis masyarakat atau Polmas (community policing) perlu mengidentifikasi pentingnya polisi hadir di tengah-tengah masyarakat dengan cepat di era digital.
Polmas sendiri merupakan filosofi tentang pelayanan pemolisian seutuhnya, personalisasi layanan, penempatan anggota secara tetap pada suatu wilayah, desentralisasi, serta anggota dan warga bermitra secara proaktif menangani berbagai masalah kejahatan, ketakutan akan kejahatan, ketidaktertiban, dan kualitas hidup warga setempat.
Operasionalisasi Polmas dalam kebutuhan masyarakat pengguna internet tidak lain adalah perlu dibangunnya alternatif pemolisian dengan basis situs dan aplikasi. Dilihat dari sudut pandang manajemen, kemampuan Polmas dalam mengikuti perkembangan masyarakat merupakan suatu pendekatan manajemen adaptif.
Manajemen adaptif adalah suatu pendekatan yang berkembang sangat pesat sejak dua dekade terakhir. Sejak dua dekade terakhir ini kemampuan menghadapi kondisi dinamis didorong oleh adaptasi yang konstan, pembaruan, konfigurasi ulang, dan pengorganisasian kembali sumberdaya dan kemampuan sehingga dapat mendukung keberadaan organisasi dalam perubahan itu sendiri.
Teece (1992) dalam Chaterin L. Wang (2007) menyebut perubahan-perubahan yang dilakukan sebagai kemampuan dinamis (dynamic capabilities) organisasi. Analisis kemampuan adaptif erat kaitannya dengan alokasi sumberdaya. Meskipun paradigma yang dibangun memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Alokasi sumberdaya biasa dianalisis melalui resources-base view (RBV).
Terminologi RBV menurut Thomas dan Pollock (1999) terdiri dari sumberdaya, proses, kemampuan organisasi dan kemampuan dasar, serta memiliki definisi yang jelas. Sementara itu Barney (1991) menyatakan bahwa sumberdaya perusahaan adalah segenap aset, kemampuan, proses organisasi, atribut, informasi, dan pengetahuan yang dapat dikontrol oleh organisasi yang dapat digunakan untuk melaksanakan implementasi strategis secara efektif dan efisien.
Manajemen adaptif adalah suatu strategi untuk mengoptimalkan adaptive capability sebagai bagian dari dynamic capability. Selain kemampuan adaptif, terdapat juga dua kemampuan lain yang diperlukan dalam kemampuan dinamis, yakni absorptive capability dan innovative capability.
Berkembangnya manajemen adaptif merupakan sebuah upaya agar pengelolaan organisasi semakin mudah dalam melakukan penyesuaian fungsi-fungsi manajemen. Manajemen adaptif adalah proses penyesuaian pada setiap fungsi management, yakni planning, organizing, actuating, and controlling (POAC). Dalam manajemen adaptif, suatu hubungan antar bagian kerja harus memiliki komitmen untuk selalu dapat dievaluasi.
Kemampuan adaptif adalah kemampuan suatu perusahaan dalam mengidentifikasi suatu kesempatan untuk meningkatkan nilai tambah. Bentuk kemampuan adaptif terlihat dari kemampuan fleksibilitas yang strategis. Oktemgil dan Gordon (1997) mengatakan bahwa dalam literatur saat ini ukuran kemampuan adaptif bersifat multi dimensi, termasuk di dalamnya kemampuan organisasi dalam mengadaptasikan produk atau layanan terhadap oportunitas kondisi yang berkembang di masyarakat.
Kemampuan adaptif lainnya adalah kemampuan melihat perubahan di masyarakat, monitoring kebutuhan masyarakat, dan kompetisi organisasi terhadap organisasi yang lain dalam mengalokasikan sumberdaya. Disamping itu, hal yang tak kalah penting adalah kemampuan merespon perubahan kondisi masyarakat dengan kemampuan yang sangat cepat. Model penelitian manajemen adaptif biasanya sangat spesifik berdasarkan suatu keperluan tertentu. Dalam kerangka umumnya, kemampuan adaptif terdapat dalam faktor komponen kemampuan dinamis.
Esensi manajemen adaptif sebagai suatu landasan dalam melakukan tindakan perubahan harus memiliki komitmen untuk selalu belajar dan memberikan pendekatan sistematis dalam melakukan tindakan tersebut. Holly Doremus (2011) mengatakan bahwa ada tiga prasyarat mengapa manajemen adaptif diperlukan, yakni karena adanya ketidaksempurnaan informasi, adanya prospek untuk dipelajari, dan oportunitas jika ada penyesuaian.
Terdapat elemen-elemen penting dalam pendekatan manajemen adaptif:
1. Capaian eksplisit dengan indikator yang dapat mengukur capaian tersebut
2. Pendekatan yang berulang terhadap suatu putusan kebijakan dengan memperhatikan oportunitas
3. Monitoring outcome dan impacts secara sistematis
4. Feedbacks loops dari proses pembelajaran secara sistematis
5. Pengetahuan eksplisit dan karakteristik risiko dan ketidakpastian
6. Upaya untuk mengurangi ketidakpastian
Dengan membuat review yang berulang pada setiap fungsi manajemen (POAC), maka sebuah organisasi harus mampu memadukan informasi utama yang berkaitan dengan kegiatannya terhadap pembelajaran organisasi, target, ilmu pengetahuan lainnya, hingga interaksi sosial yang diperlukan guna mensukseskan target.
Korten (1981) dalam Amanda C Graham (2002) menyebutkan bahwa review yang dilakukan bukan bersifat analitis, tetapi melihat rangkaian proses yang terjadi selama pelaksanaan fungsi organisasi. Reich (1985) menyebutkan bahwa hal yang perlu menjadi perhatian dalam menggali kemampuan adaptif adalah kemampuan mengidentifikasi interest group dalam interaksi sosial pelaksanaan sebuah fungsi manajemen.
Dalam kategori pemolisian menurut Byrne dan Marx (2011), maka aplikasi internet merupakan bagian dari pengembangan soft technology. Teknologi digital tergolong soft technology, memiliki fungsi penggunaannya dengan melibatkan pengguna informasi dalam pencegahan kejahatan.
Teknologi digital untuk crime prevention telah berkembang sangat luas dan beragam. Antara lain perangkat klasifikasi resiko pelanggar hukum (offender risk classification tools) untuk mendeteksi dan mengklasifikasi orang-orang yang beresiko melakukan tindak kejahatan;perangkat threat assessment untuk menilai ancaman kejahatan di suatu wilayah, perangkat bullying identification tools untuk mencegah tindakan pemerasan dan kekerasan di sekolah, berbagai program software untuk mencegah pencurian identitas (terutama nomer rekening bank) dan melindungi privasi data, perangkat untuk memonitor lokasi dan pergerakan populasi yang beresiko kejahatan seperti pelanggar hukum yang memiliki masalah mental dan penyerang seksual, dan beberapa perangkat terbaru untuk mengidentifikasi individu-individu yang berkemungkinan menjadi pelaku (atau korban) pembunuhan dalam kerangka waktu tertentu.
Aplikasi berbagai perangkat soft technology untuk pencegahan kriminalitas, telah dikembangkan luas di negara-negara maju. Pertama, sistem teknologi untuk mencegah kejahatan seksual. Sebagai contoh di Amerika Serikat sekarang telah ada perangkat untuk memonitor lokasi dan pergerakan 800 ribu sex offenders yang tercatat dalam sistem registrasi sex-offender di kepolisian. Hal ini tentu saja sangat mempermudah tugas polisi untuk mengawasi jenis-jenis kejahatan seksual yang membahayakan masyarakat.
Sistem ini juga memungkinkan pemberitahuan kepada komunitas masyarakat, apabila ada seorang yang terdaftar sebagai sex offfender pindah ke lingkungan mereka, sehingga lebih meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Tingkat resiko residivisme pada kelompok pelaku kejahatan seksual dikelompokkan menjadi beberapa kategori (high, moderate, low) berdasarkan perangkat software yang khusus dibuat untuk keperluan tersebut (misalnya RASOR, Static-99, SORAG, MnSOST, SONAR, SVR-20).Polisi menggunakan program pemetaan GPS bersama dengan database kependudukan untuk mengidentifikasi lokasi pelaku dan memperkirakan dampak pembatasan ruang gerak terhadap pencegahan pelaku mengulangi perbuatannya di masa mendatang.
Kedua, sistem teknologi untuk memperkirakan resiko tindak kriminal secara umum. Dasar pemikirannya adalah tindak kejahatan serius umumnya dapat diklasifikasi dan dideteksi secara dini. Sebagaimana dikemukakan Byrne (2009: 1), “a majority of the serious crimes are committed by a small fraction of people, in a small number of crime-ridden neighborhoods, during the first few months of probation or parole”.
Kejahatan serius umumnyadilakukan segelintir kecil orang, dan hanya di lingkungan-lingkungan tertentu yang rawan kriminalitas. Tugas dari teknologi risk assesment adalah mengidentifikasi sekelompok kecil orang tersebut, sehingga kegiatan pengawasan secara langsung oleh polisi atau dengan bantuan masyarakat, akan menjadi lebih mudah dilakukan.
Sebagai contoh, di AS terdapat 7,5 juta orang yang diklasifikasi berdasarkan tingkat resiko, sehingga dapat membantu polisi menjalankan tugas pencegahan kejahatan. Ketiga, perangkat teknologi pencegahan terorisme, yang mendapatkan perhatian khusus dari kepolisian di berbagai negara, terutama sejak peristiwa 9/11.
Inovasi teknologi telah dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan serangan terorisme di tempat-tempat publik yang vital seperti bandara, pembangkit tenaga nuklir, sekolah, stasiun kereta api, pusat perbelanjaan, gedung pemerintah, pabrik atau perusahaan swasta, dan sebagainya.
Keempat, teknologi untuk memonitor transaksi dan komunikasi digital itu sendiri. Polisi memerlukan kemampuan monitoring terhadap telepon selular, internet, dan berbagai situs media sosial; terutama untuk membantu mencegah kriminalitas dibidang keuangan, narkoba, human trafficing, dan kejahatan seksual. Kemampuan electronic surveillancememungkinkan polisi mendeteksi berbagai kemungkinan kejahatan yang terjadi melalui dunia maya.
Hasil identifikasi aplikasi online dalam pemolisian era diigital secara lebih khusus merupakan suatu realisasi fungsi Kepolisian di dunia maya sendiri, bahwa penegakkan hukum diperlukan atas perilaku menyimpang dan kejahatan melalui perangkat digital dan kehadiran polisi melalui perangkat digital dilakukan guna membangun sistem pencegahan atas kemungkinan terburuk dari penggunaan perangkat digital oleh masyarakat.
Adapun bentuk kejahatan yang muncul melalui pemanfaatan teknologi, meliputi:
1. Penipuan online.
2. Peruskan sistem web/database swasta maupun pemerintah.
3. Perusakan dan peretasan sistem transaksi online.
4. Perjudian online.
5. Prostitusi online.
6. Agitasi dan penyebaran paham/fitnah tertentu. []
