Pemikiran
E-Policing Bawa Community Policing pada Sistem Online
Istilah e-policing dapat diartikan sebagai model pemolisian yang membawa community policing pada sistem online, yakni pemolisian secara elektronik yang dilakukan secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat bisa terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa batas ruang dan waktu untuk selalu dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi (Chryshnanda DL, 2015, hal. 88).
Hubungan polisi dan teknologi dapat dispesifikasi menjadi dua jenis inovasi teknologi (hard-material based technology dan soft-information based technology), yang dapat diterapkan dalam dua bidang: pencegahan kejahatan (crime prevention) dan pemolisian (policing), sehingga mampu meningkatkan kinerja polisi (Byrne dan Marx, 2011). Bentuk-bentuk perangkat e-policing tersebut telah banyak terlihat dalam penggunaan alat kepolisian untuk menjalankan tugasnya.
Mengacu pada Byrne dan Marx (2011) perangkat hard technoloogy e-policing yang mudah dikenali masyarakat mencakup kamera CCTV, alat metal detector, peralatan screnning bagasi di bandara, kaca anti peluru untuk kasir bank, dan sistem keamanan pribadi di rumah maupun kantor.
Terdapat berbagai perangkat perlindungan diri (tasers, mace, dan sarana komunikasi darurat emergency call) dan sistem pengunci mobil otomatis yang dilengkapi perangkat sensor alkohol yang mencegah seseorang berkendara ketika sedang mabuk.
Adapun yang bersifat soft technology e-policing yang mudah dikenali berupa Teknologi digital tergolong soft technology, yakni melibatkan penggunaan informasi strategis untuk pencegahan kejahatan (misalnya pengembangkan teknologi risk assessment dan perangkat threat assessment untuk mendeteksi ancaman kejahatan secara dini dan meningkatkan kinerja pemolisian (misalnnya teknologi predictive policing, dan alat rekam/video streaming yang dipasang pada mobil patroli). Inovasi soft technology antara lain adalah pengembangan software program, sistem klasifikasi, teknik analisis kejahatan, dan teknik data sharing/system integration yang memungkinkan polisi bekerja dengan berbasis data yang akurat dan cepat.
Teknologi yang berupa sistem identifikasi melalui pemanfaatan software, menurut Chrysnanda DL (2015, hal 60-1) bahkan telah digunakan lebih jauh dalam tugas Kepolisian di bidang lalu lintas, baik bersifat back office maupun tugas di lapangan.
Sebagai misal, electronic regident (ERI) yang merupakan sistem pendataan regident secara electronic yang dikerjakan pada bagian BPKB sebagai landasan keabisaahan kepemilikan dan asal usul kendaraan bermotor. Dari sistem database yang dibangun secara elektronik akan saling berkaitan dengan fungsi kontrol dan forensik, hingga program layanan masyarakat lainnya seperti pembatasan pengoperasionalan kendaraan bermotor seperti ERP (Electronic Road Pricing), ETC (Electronic toll collect), e-parking, e-banking (bisa menerobos/ memangkas birokrasi samsat), dan ELE (Electronic Law Enforcement).
Sejumlah pengamat memandang bahwa teknologi digital membawa perubahan yang tidak kalah dramatis dibandingkan revolusi teknologi pertama, sehingga mempengaruhi pemolisian dan cara kerja polisi selama ini (Chan, 2001 dan Harris, 2007). Dalam menginisiasi e-policing di Polri diperlukan suatu pemikiran konseptual yang matang supaya dapat diintegrasikan ke dalam satuan fungsi kerja. Hal ini perlu menginduk pada model pemolisian secara umum, yang meliputi tiga kategori, mencakup: berbasis wilayah, berbasis kepentingan, dan berbasis dampak masalah (Chrysnanda DL, 2015, hal. 21).
Penggunaan layanan TMC melalui Twitter menjadi contoh e-policing yang berbasis wilayah, sedangkan electronic regident merupakan penerapan e-policing berbasis kepentingan. Adapun penerapan e-policing berbasis dampak masalah dapat terlihat dalam e-banking, karena memiliki interkoneksi yang luas terhadap aspek sosial, ekonomi, keuangan, dan aspek lain yang ditangani oleh satuan tugas Kepolisian secara khusus dan parsial.
Pemolisian di era digital di Indonesia memiliki arti yang semakin luas ketika Pemerintahan Kota Bandung mendirikan Bandung Command Center (BCC) pada awal Januari 2016. Peran Kepolisian sangat terlihat tatkala dalam fitur-fitur layanan kontrol masyarakat menggunakan perangkat yang selama ini digunakan oleh Kepolisian, mencakup laporan pengaduan dan penggunaan CCTV untuk mengawasi daerah-daerah kota Bandung. Fungsi Kepolisian cukup dominan dalam layanan BCC.
Hal itu terlihat dari dirilisnya aplikasi tombol panik (panic botton) yang dapat diakses melalui gadget. Tombol panik ini diunduh dan dipasang (install) pada gadget. Untuk dapat menggunakan aplikasi ini, masyarakat pengguna terlebih dahulu diharuskan mengisi data pribadi yang akurat disertakan dengan nomor telepon orang terdekat yang bisa dihubungi. Operasional pelaporan peringatan tersebut baru bekerja jika pengguna menekan tiga kali tombol panik, yang akan menjadi sinyal bagi operator di back office BCC. Selanjutnya, operator akan melanjutkan ke Kepolisian, maka bantuan Kepolisian akan datang secepat mungkin.
Daya guna dan efektifitas situs atau aplikasi layanan Kepolisian memang belum teruji (proven), mengingat hal ini baru berlaku dalam waktu dan cakupan yang terbatas. Namun, penggunaan aktif dan familiarnya penggunaan internet dan jejaring sosial menjadi alasan utama perlu dibangunnya e-policing dalam bentuk aplikasi.
Data APJII dan Puskakom UI (2015) menunjukkan bahwa saat ini sebagian banyak orang yang terkoneksi ke internet adalah untuk menggunakan jejaring sosial. Tidak kurang dari 87% pengguna internet di Indonesia mengaku menggunakan social media saat terhubung ke internet. Alasan kedua orang menggunakan internet adalah mencari informasi atau searching dan browsing yaitu sebanyak 68,7%.
Disamping itu, terdapat fakta lain yang menunjukkan bahwa mayoritas (51% dari total pengguna internet) pengguna internet adalah perempuan. Bahkan, di DKI Jakarta sebanyak 73% pengguna internet didominasi perempuan. Dalam asumsi umum, perempuan seringkali merupakan target dan sasaran kejahatan.
Simplifikasi pentingnya aplikasi tombol panic yang terpasang pada setiap gadget yang dimiliki oleh hampir 35% penduduk Indonesia adalah suatu upaya Kepolisian dalam memberikan layanan masyarakat yang prima. Upaya pembangunan e-policing dalam bentuk aplikasi ini cukup layak sebagai sebuah fase yang disebut Polisi Go Online. []
