Penghayatan
Keteraturan, Tahun Politik, dan Tantangan Negarawan
Tahun ini dan tahun-tahun mendatang Indonesia punya fokus masalah politik. Pilkada serentak berlangsung di berbagai daerah, lalu berikutnya pemilihan presiden dan pemilu legislatif. Tidak ada yang aneh sebenarnya, tetapi banyak pihak mengatakan Indonesia harus waspada dengan tahun politik.
Lembaga pemeringkat utang internasional sekelas Moody’s misalnya, menyebut tahun politik berpotensi menghambat reformasi ekonomi. Ia mencontohkan Malaysia yang hingga kini belum menunjukkan perbaikan ekonomi dalam dua tahun terakhir dikarenakan terus mempersiapkan diri menjelang pemilihan parlemen pada Agustus 2018 mendatang.
Bukan saja kita dan tetangga sebelah, mata dunia sebenarnya tengah melihat dinamika politik di kawasan Asia. Beberapa negara itu meliputi Kamboja, Fiji, Thailand, Bangladesh, dan Pakistan yang juga tengah berusaha estafet dalam berdemokrasi.
Perubahan pemimpin yang berarti perubahan arah politik yang kini tidak lagi menjadi dapur suatu negara, tapi menjadi strategic interests bagi negara-negara partner di tengah panggung kontestasi Amerika-China, Korut-Korsel, Palestina-Israel, hingga Eropa dan EU-Exit.
Tahun politik ini mengandung terminologi yang merujuk pada political machine yang berkembang sejak abad ke-18 di Amerika Serikat. Referensi selanjutnya meluas di Amerika Latin yang dikenal sebagai political clientelism yang berarti relationship-pertautan.
James Q. Wilson dalam bukunya American Government (2005) menyebut political machine sebagai organisasi partai yang melakukan perekrutan dengan menawarkan intangible incentives, uang, dan posisi politis untuk menaikan kontrol kepemimpinan kepada aktifitas anggotanya. Political machines bagi akar rumput adalah untuk menciptakan patron yang dibutuhkan dalam mekanisme pemilihan modern. Patron yang kuat adalah faktor penentu untuk mendapatkan suara di ruang-ruang pemilihan.

Tren yang kini berkembang dalam pemilu di tanah air, ketimbang sekedar membagi-bagikan uang kepada para pemilih pada saat hari H pencoblosan. Dalam bahasa lumrahnya, kita mengenal pendukung, relawan, pro, simpatisan, dan berbagai istilah rasa lokal yang berarti bagian tim sukses suatu pasangan calon.
Bentuk pengorganisasian massa inilah yang kemudian bertemu dengan medan wacana di media sosial (medsos). Sudah hampir satu dekade Indonesia merasakan keriuhannya. Apakah anda juga pernah mengenalinya? Ketika tiba-tiba teman medsos yang biasanya menggunakan medsos sebagai sarana jualan produk malah memposting berita politik dari sebuah portal media dengan dibumbui komentar pribadinya.
Tidak jarang akhirnya ketidaksepakatan wacana membuat satu sama lain memilih untuk tidak berteman (unfriend-unfollow) lagi di medsos.
Apa yang dibutuhkan bangsa ini dengan sistem dan mekanisme berwacana dalam demokrasi seperti ini adalah keteraturan. Sebuah etika sosial yang harus ditumbuhkan dari kedewasaan masing-masing pribadi, supaya yang dikedepankan bukanlah kebenaran dan pilihan yang relatif. Melainkan, beradu gagasan agar saling menguatkan keteraturan yang lebih luas, yang berarti cakupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Insan demokrasi tak lagi dapat mengandalkan negara untuk meminta patokan keteraturan yang tegak. Ini yang sempat disinggung oleh Filsuf Haryatmoko dalam bukunya Etika Komunikasi, dengan mengutip Ricoeur (1990) yang menunjukkan campur tangan negara dalam hal moral perseorangan sarat dengan dilema. Di satu pihak, bila negara banyak campur tangan dalam hal moral, kecenderungannya bukan memperluas lingkup kebebasan warga negara, tetapi justru mempersempitnya.
Berbicara paternalistik, bentuk yang dimiliki negara juga mengatasnamakan tujuan luhur dan kepantasan publik. Yang dengan begitu, perilaku kebebasan tidak mendorong banyak pihak semakin ‘tidak dewasa’, atau warga negara yang belum dewasa menjadi dewasa sebelum waktunya.
Tujuan luhur yang dimiliki negara inilah yang seharusnya menjadi refleksi keteraturan yang diidamkan. Kalau begitu, setiap kita yang turut berdemokrasi selalu ditantang menjadi negarawan dalam berbagai kesempatan, terutama ketika kini menapaki tahun-tahun politik.
