Connect with us

Ahriesonta.id

Penempatan Etika, Upaya Melanjutkan Reformasi Budaya Polri, Seri 2

Ilustrasi etika dalam pikiran manusia (istimewa/mediaindonesia.com).

Pemikiran

Penempatan Etika, Upaya Melanjutkan Reformasi Budaya Polri, Seri 2

Fase strive for excellence dalam Grand Strategi Polri masih terkendala konservatisme budaya, yang erat kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang para petugas polisi dalam menjalankan fungsinya di lapangan. Oleh karena itu, reformasi kepolisian yang telah berjalan selama hampir dua dekade perlu memberikan penekanan pada reformasi budaya.

Melalui penjabaran kewenangan kepolisian dan tata penyelenggaraan aparatur negara, dapat diketahui bahwa keberadaan budaya merupakan permasalahan organisasi. Penempatan masalah budaya yang dikandung internal organisasi kepolisian sangat penting sebagai penekanan, bahwa reformasi harus berjalan atas setiap lembaga negara.

Meskipun dalam realitanya, permasalahan budaya lahir dari iklim politik kelembagaan secara nasional. Dalam konteks reformasi kelembagaan, perbaikan budaya pada internal organisasi, menurut beberapa teori dan empirik reformasi birokrasi kepolisian di beberapa negara, merupakan suatu upaya untuk menempatkan etika dalam perubahan budaya itu sendiri. Maka, budaya etika menjadi kunci dalam reformasi budaya Polri.

Kepolisian bukan satu-satunya lembaga yang mendapat sorotan masyarakat sebagai institusi yang belum mengalami reformasi secara total. Kehidupan demokrasi Indonesia seperti tidak mengenal kata usai dari tontotan aparatur pemerintah yang tidak mencerminkan sikap dan perilaku sebagai negarawan.

Berbagai perbuatan melanggar hukum muncul dalam pemberitaan nasional, baik itu pada tingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah. Bentuk pelanggaran yang sangat sering menghiasi media massa berupa korupsi, bertengkar saat rapat, fitnah, saling menyalahkan antar lembaga, saling jegat kebijakan antar lembaga, hingga perbuatan yang tidak humanis seperti pemerasan, pemukulan, pencabulan, atau perselingkuhan.

Berbagai masalah riil yang mengemuka dapat selalu diingat masyarakat seperti, perkara mantan Ketua DPR yang meminta jatah divestasi saham Freeport; pemukulan staf oleh anggota DPR; penggelapan pajak tertagih oleh staf Dirjen Pajak; penumpukan kekayaan oleh anggota kepolisian yang sering diistilahkan Polisi Rekening Gendut; perkara dana talangan krisis perbankan oleh oknum pejabat di Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan; penjegalan dalam pencalonan legislatif dan eksekutif dalam pemilihan umum, dan sebagainya.

Masalah-masalah lain yang mengemuka namun skala masalahnya relatif lebih kecil, seperti: tindakan represif Satuan Polisi Pamong Praja dalam penertiban tata ruang kota; pengerahan preman yang dilakukan pengusaha tambang dengan ijin pemerintah setempat terhadap demonstrasi penolakan warga; perkelahian anggota TNI dan Polri; hingga konsumsi narkoba oleh berbagai aparatur sipil negara.

Jika berbagai perilaku buruk aparatur negara dipetakan, dapat disimpulkan bahwa pangkal penyakitnya penyalahgunaan wewenang. Asas-Asas Umum penyelenggaraan negara dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme meliputi, a. Asas kepastian hukum; b. Asas tertib penyelenggaraan Negara; c. Asas kepentingan umum; d. Asas keterbukaan; e. Asas proposionalitas; f. Asas profesionalitas; dan g. Asas akuntabilitas.

Penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan terdapatnya ketidaksahan (cacat hukum) dari suatu keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara.

Cacat hukum keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara pada umumnya menyangkut tiga unsur utama, yaitu unsur kewenangan, unsur prosedur dan unsur substansi, dengan demikian cacat hukum tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yakni: cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat substansi. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi hakekat timbulnya penyalahgunaan kewenangan.

Dasar pengujian ada atau tidaknya penyalahgunaan ini adalah peraturan dasar (legalitas) sebagai hukum positif tertulis yang melatar belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat mengeluarkan suatu keputusan, artinya ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur “menyalahgunakan kewenangan” haruslah berpijak pada peraturan dasar mengenai tugas, kedudukan, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja.

Penyalahgunaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 bukanlah satu-satunya bentuk penyalahgunaan kewenangan. Selain penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, terdapat tiga bentuk penyalahgunaan lainnya yaitu tindak pidana penyuapan kepada aparatur negara, tindak pidana gratifikasi kepada aparatur negara, dan tindak pidana pemerasan oleh pejabat/aparatur negara. Ketiga bentuk tindak pidana korupsi tersebut masing-masing diatur dalam pasal tersendiri dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

Proses pencapaian negara dengan pemerintahan yang baik memerlukan alat dalam membawa komponen kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan pemerintah guna terealisasinya tujuan nasional. Alat pemerintahan tersebut adalah aparatur pemerintah yang dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan sekarang disebut dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014.

Pembentukan disiplin, etika dan moral ditingkat pejabat pengambil keputusan, sangat diperlukan untuk menangkal kebijakan yang diambil penuh dengan nuansa kepentingan pribadi dan golongan/kelompok. Kalau itu yang terjadi, tanpa disadari bahwa itu merupakan penyalahgunaan wewenang jabatan, yang disebut abuse of power.

Perwujudan tindakan penyalahgunaan wewenang jabatan tersebut sebagian besar berdampak pada terjadinya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Adaptasi beberapa aturan tersebut dalam konteks organisasi kepolisian, dikaitkan dengan budaya organisasi, etika polisi, dan gaya pemolisian, maka dapat digambarkan ke dalam bagan sebagai berikut.

Sumber: Disarikan dari perundangan ASN.

Aspek etika memiliki tempat tersendiri dalam reformasi budaya kepolisian, karena budaya dikenali merupakan salah satu faktor yang kerap menyebabkan perilaku penyalahgunaan wewenang di tubuh kepolisian. Oleh karena itu, perubahan budaya sangat penting untuk menangkal sebab-sebab perilaku penyimpangan yang dilakukan petugas di lapangan.

Perilaku penyalahgunaan wewenang polisi disebabkan kelemahan dari empat faktor yaitu: (1) rekrutmen, pelatihan dan promosi, (2) sumber daya (gaji dan peralatan), (3) sistem akuntabilitas pada sistem internal organisasi, pengadilan dan hukum, (4) budaya yang melekat pada standar profesi kepolisian.

Praktek-praktek etika merupakan suatu hasil pembiasaan dan memerlukan proses pelatihan, sedemikian rupa sehingga menjadi suatu budaya dalam organisasi, atau dapat disebut sebagai “budaya etika”. Istilah ini dapat dimaknai sebagai anti tesis dari “budaya korupsi” dalam pengertian luas, yakni mencakup perilaku korupsi dan perilaku tidak etis lainnya.

Pengertian budaya menurut Clifford Geerzt (1973) secara simbolik sebagai “a system of inherited conceptions expressed in symbolic forms by means of which men communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and attitudes toward life.

Melalui definisi tersebut “budaya” dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) suatu sistem keteraturan makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi. []

Klik untuk komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

13 + three =

Ke Atas