Connect with us

Ahriesonta.id

Kepolisian Dalam Dinamika Ekonomi Global dan Regional

Seragam polisi tampak punggung (Istimea/jpnn.com).

Pengabdian

Kepolisian Dalam Dinamika Ekonomi Global dan Regional

Satu kejahatan yang terjadi adalah fenomena, tetapi seribu kejahatan merupakan statistik. Kalimat itu tepat untuk menggambarkan kepolisian dalam mensikapi kejahatan yang ditangani. Dibalik kejahatan yang berulang terdapat latarbelakang terjadinya suatu kejahatan.

Kejahatan yang berulang itu juga dapat menunjukkan suatu celah kejahatan dalam tatanan sistem. Lebih dalam dari penindakan dan pembuktian suatu kejahatan, pemolisian seyogyanya dapat melihat suatu bentuk kejahatan terhadap rangkaian sistem yang berlaku. Pemolisian yang melihat kedalam merupakan suatu sikap terhadap interdependensi antara hukum perorangan dengan kepentingan hukum masyarakat, bahkan dengan kepentingan hukum negara.

Interdependensi inilah yang menjadi landasan dalam penerapan instrumen-instrumen hak asasi manusia dalam pemolisian. Sehingga, pemolisian dapat berlaku optimal tanpa harus mengedepankan kekerasan dan penggunaan senjata api.

Jumlah tindak pidana di Indonesia mengalami lonjakan selama kurun 2007 hingga 2011. Jika pada tahun 2006 jumlah tindak pidana sebanyak 229.163 kasus pada tahun 2007 menjadi 330.384 kasus atau tumbuh 10 persen. Kenaikan tersebut terus terjadi hingga pada 2011 jumlahnya menjadi 347.605 kasus, dan merupakan jumlah kejahatan terbesar sepanjang masa reformasi. Kurun waktu tersebut berkorelasi dengan krisis keuangan dunia yang berat di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Konteks keterkaitan dengan Indonesia secara sektoral ekonomi memang berkaitan, yang terlihat dari berubahnya berbagai indikator ekonomi domestik. Konteks keterkaitan dengan peningkatan kejahatan dapat ditafsir melalui pandangan Kenichi Ohmae, yang melihat bahwa globalisasi dalam bidang ekonomi melunturkan batas-batas teritori suatu negara dan bersifat mondial. Artinya, ekonomi adalah faktor penentu dari masifnya perubahan sosial di masyarakat akibat globalisasi itu sendiri.

Rantai ekonomi dalam tatanan global menurut Ohmae dimulai dengan berakhirnya perang dingin yang menciptakan suatu iklim investasi yang baik diantara berbagai negara. Dengan bantuan teknologi, aliran keuangan global semakin cepat dan bahkan dalam beberapa hal menghilangkan kontrol negara atas proses transaksi yang sedang berlangsung.

Turunan dari investasi secara tradisional mencakup investasi riil dan sektor keuangan, kemudian berkembang menjadi investasi dalam pengembangan sumber daya manusia. Internalisasi pembangunan ekonomi ke dalam pengembangan sosial masyarakat melahirkan kesadaran individu yang baru, yakni daya konsumsi barang dan jasa. Triger kapital mendorong pengembangan berbagai industri, sehingga simultan dengan hubungan tersebut adalah kebutuhan pembangunan industri yang lebih luas.

Berangkat dari korelasi ekonomi dan perubahan sosial masyarakat melalui pemikiran Ohmae, masuknya modal (capital inflow) ke Indonesia dalam krisis keuangan dunia 2008, Indonesia diuntungkan dengan kebijakan penciptaan uang baru di AS atau disebut quantitative easing, sehingga uang banyak mengalir ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

Ketika perekonomian AS dan negara-negara Eropa mulai membaik, kebijakan mulai berganti dengan pengetatan keuangan atau disebut tapering off. Pada waktu krisis keuangan dunia, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata dunia. Ekonomi bergerak secara kondusif yang didorong oleh minat para investor asing atas return yang tinggi.
Perbaikan ekonomi AS menciptakan return yang kompetitif dapat ditawarkan di dalam negeri AS. Selain faktor return, AS sebagai negara superpower mampu memberikan jaminan investasi yang lebih terpercaya. Sehingga, bukan hanya investor AS yang menarik kembali investasinya, melainkan juga para investor dari Eropa dan negara maju di kawasan Asia dan Amerika Latin. Dengan kata lain, Indonesia harus merespon dengan menentukan tingkat imbal hasil secara bersaing dengan patokan perbaikan ekonomi AS.

Jika pertumbuhan ekonomi dan daya tarik investor global terhadap Indonesia yang memiliki kekuatan sebagai pasar, maka seharusnya Indonesia tetap menarik perhatian investor di tengah membaiknya ekonomi AS. Selama 10 tahun terakhir dianggap sebagai kekuatan ekonomi dengan kenaikan daya beli masyarakat yang terus meningkat. Kekuatan pasar ini juga yang menyelamatkan Indonesia dari penularan (contagion effect) krisis keuangan dunia pada 2008.

Keyakinan ini paling tidak dibenarkan secara empiris dalam berbagai literatur ekonomi. Lihat misalnya tulisan Carlota V. Cortez dengan judul The Flying Geese Pattern Of Economic Development In Asia And Its Socio-Cultural Foundations, yang merujuk pada tulisan Rene Ofreneo dengan judul “The Theory of the Flying Geese Pattern of Economic Development and its Interpretations”; tulisan V.R. Panchamuki, “Strengthening Complementarities and Intra-Regional Trade in Asia and the Pacific”; dan tulisan Yung Chul Park, “Globalization and Regional Integration in Pacific Asia”.

Pada berbagai tulisan tersebut ditegaskan bahwa model flying geese atau model aliran dana yang menciptakan pertumbuhan ekonomi di Asia Pasifik merupakan fenomena market driven. Dapat dimengerti jika studi empiris yang dibuat di pertengahan era 90-an itu dikoreksi oleh adanya krisis 97/98 yang menumbangkan julukan Indonesia sebagai “Macan Asia”.

Ketegangan di Laut Tiongkok Selatan diyakini akan mempengaruhi peta ekonomi kawasan dan dinamika kawasan ini belum mencapai puncak hingga saat ini. Hanya saja, memang hingga saat ini belum ada rekonsiliasi konflik yang dapat menengahi di antara negara-negara ASEAN dan Tiongkok. Sehingga, dari analisis beberapa pembacaan ekonomi-politik konflik dan perebutan kawasan akan memanas dalam tahun-tahun mendatang.

Di dalam negeri Indonesia dihadapkan pada masalah fundamental ekonomi yang masih menjadi sumber perlambatan pertumbuhan, mencakup: masalah infrastruktur, logistik, pembebasan lahan, ketersediaan listrik, dan ketahanan pangan. Semua itu merupakan yang belum dapat dientaskan. Nilai tukar rupiah juga terombang-ambing di pasar. Sebagai review singkat, pada awal tahun 2013 nilai tukar rupiah terhadap US$1 senilai Rp9.670 dan dalam perjalanannya pada tahun 2015 sempat menembus dikisaran Rp 14.800.

Pergantian Presiden juga melahirkan opini instabilitas di pasar. Sehingga, pemerintah membuat berbagai paket kebijakan ekonomi, yang merupakan stimulus untuk menggairahkan kondisi pasar. Secara sederhana, paket kebijakan diibaratkan kran-kran air. Jika suatu instrumen ekonomi memerlukan stimulus pergerakan dan pertumbuhan, maka kran stimulus tersebut dibuka. Jika suatu instrumen ekonomi perlu penekanan maka kran tersebut ditutup sedikit-sedikit.

Dalam rangkaian dinamika sektor ekonomi tantangan pemolisian semakin besar. Beberapa fakta aktual menunjukkan bahwa terdapat 6.000 orang Indonesia memiliki rekening di luar negeri dengan potensi jumlah uang ditaksir mencapai Rp 11.400 triliun.

Dana sebesar itu dilacak Kementerian Keuangan merupakan uang yang mengendap sepanjang kurun waktu 20 tahun terakhir (1995-2015). Jika ditelisik lebih dalam, temuan ini merupakan upaya masyarakat Indonesia dalam menghindari pajak. Lebih khusus, temuan kasus ini merupakan pengembangan dari temuan skandal Panama Papers dan Offshore Leak.

Pelarian uang dari Indonesia ke luar negeri sebenarnya sudah terjadi sejak krisis Indonesia 97/98. Kasus yang mencolok adalah ketika pemerintah memberikan bantuan likuiditas melalui Bank Indonesia (BLBI) untuk membantu (bail out) bank yang gagal dalam operasionalnya. Kebijakan pemerintah ini diperuntukkan bagi masyarakat atau nasabah bank yang uangnya tidak bisa kembali karena bank dinyatakan pailit.

Namun, beberapa dari penerima BLBI melakukan tindak penyelewengan. Daftar pelaku pidana BLBI telah lama menjadi buronan, namun baru berhasil ditangkap pada medio April 2016 dengan ditangkapnya Samadikun Hartono di China. Pelaku menghilang saat hendak dieksekusi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1696 K/Pid/2002 tanggal 28 Mei 2003. Dia adalah terpidana 4 tahun penjara dalam kasus penyalahgunaan dana BLBI senilai Rp 169 miliar.

Penghindaran kewajiban masyarakat terhadap negara merupakan tugas kepolisian yang sangat penting untuk ditingkatkan. Selain itu, penanganan atas kejahatan trans nasional (Trans National Crime-TNC) seperti illegal fishing, human trafficking, hingga terorisme juga menjadi perhatian serius yang hingga saat ini masih bermunculan di tanah air.

Jika melihat tren munculnya kejahatan tersebut, beriringan dengan kondisi sulit atau mendekati krisis. Diluar gencarnya illegal fishing yang ditangani Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam temuan di wilayah perairan Manado, pencurian ikan banyak dilakukan nelayan Filipina di wilayah Indonesia Timur. Namun, karena di Bitung Sulawesi Tenggara diberikan izin pendirian pabrik pengalengan ikan, bahkan diberikan status Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), maka illegal fishing tersebut secara tidak langsung menjadi legal.

Tahun 2015 merupakan babak baru bagi negara-negara di Asia Tenggara untuk semakin memperdalam interkoneksi global. Hal ini berarti terdapat penempatan global supply chain dalam mendasari kebutuhan produksi, yang menggantikan mekanisme pemenuhan secara domestik. Keunggulan sebuah perusahaan suatu negara akan semakin teruji apabila mampu memperoleh sumber bahan baku dengan harga yang relatif lebih murah dari berbagai sumber yang bisa diperoleh di pasar domestik.

Global supply chain sebenarnya merupakan bagian mekanisme natural dalam ekonomi pasar yang mengalami perluasan dari konteks domestik ke tingkat global. Bentuk ini terjadi apabila terpenuhi segala persyaratannya, meliputi yang paling utama adalah ketersediaan informasi di pasar. Ditambah, di dalam pola integrasi harus menihilkan berbagai barrier dan insentif yang akan mereduksi mekanisme natural ekonomi. Informasi merupakan syarat yang paling utama, meliputi: kedudukan perusahaan; standar kualifikasi produksi; tingkat harga; hingga proses distribusi. Merupakan tantangan bagi perekonomian untuk menciptakan sistem yang dapat mengakomodir informasi tersedia di pasar. Selain itu, perekonomian harus mampu menstimulus para pelaku bisnis saling bertukar informasi.

Dalam era digital, arus informasi didistribusikan melalui internet yang terkoneksi selama 24 jam. Pemolisian dapat dilakukan dengan pemantauan para pengguna informasi tersebut. Permasalahan konflik sosial dan unjuk rasa yang setiap saat dapat muncul juga merupakan permasalahan laten dalam ketertiban masyarakat. Tentu masih tersimpan dalam ingatan masyarakat, ketika salah satu aksi buruh berhasil memblokir KM 22 hingga KM 32 tol Jakarta Cikampek.

Aksi serupa juga terjadi di Bogor dan Tangerang juga berhasil melakukan efek yang sama. Dampaknya, kegiatan ekonomi terhambat yang menyebabkan kerugian bernilai triliunan rupiah. Sektor makanan-minuman (food and baverages) dalam satu hari saja dapat mengalami rugi hingga Rp2 triliun, akibat satu hari blokade jalan dikarenakan aksi buruh.

Dari sepuluh isu aksi buruh, masalah utama yang diajukan buruh mengenai kelayakan upah. Setelah itu, mengenai kesejahteraan dan kemampuan daya beli (sembako). Indonesia sebagai negara dengan sistem perekonomian kesejahteraan (welfare state), kondisi ini biasanya menjadi momok bagi kelancaran aktivitas ekonomi.

Aksi demonstrasi buruh ini bahkan menjadi the most popular issue yang menghiasi media massa sepanjang tahun 2014. Mekanisme politik dan konsolidasi di tingkatan pelaku bisnis masih sangat rendah untuk merespon permasalahan seperti ini, dari 1.256 pemberitaan tentang buruh, dalam review Indonesia Media Monitoring Center tercatat hanya 2,8% saja pemberitaan yang berisi respon DPR atau DPRD terhadap aksi buruh tersebut. Pengalaman ini menunjukkan bahwa demonstrasi tidak lagi bisa dikatakan sebagai alat untuk merepresentasikan suara rakyat. Rutinitas demonstrasi bahkan sudah menjadi hal yang dihindari masyarakat. Tidak lain karena, efek dari demonstrasi seringkali mengganggu kelancaran aktifitas ekonomi masyarakat.

Permasalahan perburuhan yang terjadi dalam hubungan industrial selama ini terjadi karena buruh berstatus outsource, yang secara UU belum diatur secara jelas. Di sisi yang lain, elastisitas penciptaan lapangan kerja untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi cenderung mengalami penurunan dibandingkan besaran yang sama pada periode 1980an dan 1990an.

Dalam konteks pemolisian, demostrasi permasalahan rendahnya respon politik dan konsolidasi pelaku bisnis menjadi masalah yang akan menciptakan situasi tuntutan masyarakat menjadi lebih lama. Terganggunya ketertiban masyarakat akan menjadi korban manakala kepolisian tidak dapat menindak dan mengamankan situasi di lapangan. Kepastian hukum mengenai penertiban masyarakat oleh kepolisian seperti ini juga masih menjadi masalah yang melingkupi tugas-tugas polisi di lapangan.

Ketidakpuasan masyarakat atas sistem yang berlaku dalam skala ekstrim dapat menciptakan kekerasan, bahkan dapat menggunakan senjata api dan bahan peledak. Instabilitas dalam perekonomian dapat menciptakan kerusuhan massa seperti terjadi pada awal masa reformasi, dimana daya beli masyarakat yang rendah melahirkan tindakan anarkis dengan menyerbu toko dan kawasan perdagangan yang ada.

Berbagai isu suku, ras, dan agama juga menjadi faktor pemicu. Sehingga pada waktu itu, toko-toko milik non-pribumi dan yang beragama non-mayoritas menjadi sasaran massa. Dalam era saat ini, ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem telah melahirkan tindakan radikal dan kerusuhan amuk massa, tercatat sebagian tindakan itu menggunakan senjata dan bahan peledak (bom molotov). Dengan model pengembangan isu SARA, lahirlah kelompok-kelompok militan atas dasar agama dan dalam pemolisian kontemporer hal ini dikategorikan sebagai tindakan terorisme. []

Klik untuk komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

nine − 3 =

Ke Atas