Connect with us

Ahriesonta.id

Mengintip Budaya Ugahari dalam Pemolisian Masyarakat, Seri 3

Ilustrasi keugahariaan dengan seorang nelayan yang mencari ikan tanpa mengetahui apakah di situ akan ada ikan yang berhasil ditangkapnya. (istimewa/Sharavut Whanset dalam inet.detik.com)

Pengabdian

Mengintip Budaya Ugahari dalam Pemolisian Masyarakat, Seri 3

Sebagai ulasan dari tulisan sebelumnya: keugahariaan menjadi sebuah rujukan sifat keutamaan dalam pencarian standar normatif anggota kepolisian. Di dalam keugahariaan terdapat idea atau ide yang memberikan pemahaman logis, bahwa cara pandang terhadap realitas harus positif. Yang dengan begitu, dunia tidaklah jahat.

Tetapi, dunia perlu diatur oleh manusia. Fungsi kepolisian sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, serta penegakkan hukum memerlukan suatu kesadaran ugahari dalam melaksanakan wewenang diskresi. Hal ini penting karena kepolisian masih memiliki citra negatif dalam paradigma masyarakat.

Meskipun secara kinerja dan tata kelola institusi Polri sudah menyandang predikat baik. Dalam keterkaitan itu, tinjauan filosofis mengenai budaya ugahari menjadi relevan untuk melihat bentuk normatif pelaksanaan tugas kepolisian. Sehingga, pemolisian masyarakat dapat lebih bermakna menjaga ketertiban dibandingkan memberantas kejahatan.

Memahami Keugahariaan
Abad ke–20 disebut sebagai abad anti Platonisme oleh Alain Badiao (1989). Pada abad itu, banyak pemikir dan filsuf yang mengkritik pemikiran Platon. Nietzsche menyebut Platon sebagai filsuf yang anti ke-menjadian (becoming) karena mendakwakan adanya ‘dunia ide’ sebagai sesuatu yang tetap dan kekal. Para filsuf analitis seperti Russell dan Wittgenstein menuduh Platon sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas lahirnya cara berpikir dualistik yang begitu naïf. Sementara itu, Wittgenstein menuduh Platon sebagai filsuf yang memulai tradisi (ber) filsafat yang ‘melupakan ada’.

Dalam buku berjudul Platon: Xarmides Keugaharian ini adalah terjemahan sekaligus tafsiran dari A.Setyo Wibowo, Platon selalu menampilkan tokoh Sokrates sebagai orang yang “tidak tahu”, sehingga ia memicu dan menuntun perbincangan mencari definisi tentang keutamaan keugaharian (modestia, moderation, self control). Dalam buku ini, Platon melalui sosok Socrates dan lawan wicaranya membahas tentang sophrosunes.

Dalam bahasa Indonesia, kata “sophrosune” diterjemahkan sebagai “keugaharian.” Namun, tidak sesederhana itu pengertian sophrosune. Sepanjang dialog Socrates dengan dua lawan Xarmides dan Kritias, ada enam definisi itu, ada satu definisi yang menurut banyak penafsir dianggap sebagai definisi yang mewakili pemikiran Socrates.

Definisi itu terdapat dalam dialog 167a yang berbunyi : “Orang ugahari (sophron) dengan demikian adalah satu-satunya orang yang akan mengetahui dirinya sendiri dan mampu memeriksa apa yang ia ketahui dan apa yang ia tidak ketahui”.

Socrates selalu mengatakan bahwa dirinya tidak tahu apa-apa, kecuali bahwa dia tidak tahu apa-apa. Dengan demikian, Socrates lalu mendefinisikan keugaharian sebagai sebuah pengetahuan/pengenalan atas diri sendiri (164d-166c).

Dengan pengetahuan/ pengenalan atas diri sendiri itu, orang yang ugahari akan tahu pada batas-batas diri sehingga dia juga akan tahu di mana harus mengambil posisi. Seturut dengan definisi tersebut, keugaharian (sophrosune) juga sering disejajarkan dengan apa yang disebut “egrateia” atau pengendalian diri. Artinya, orang yang ugahari pasti juga akan mampu untuk melakukan pengendalian diri di hadapan kenikmatan-kenikmatan duniawi (epithumia).

Dalam konsepsi seperti itu, Platon menganggap keugaharian wajib dimiliki oleh setiap warga Negara, terutama para pemimpinnya. Sebab, bila pejabat atau pemimpin Negara tidak memiliki kemampuan untuk mengendalian diri di hadapan kenikmatan-kenikmatan duniawi, dia pasti akan korupsi. Dan itu ternyata sudah terbukti.

Lihat saja birokrasi pemerintahan di negeri ini. Banyak pejabat dan politisi yang ditangkap karena terbukti korupsi. Itu terjadi karena mereka tidak ugahari, tidak mampu mengendalian diri dihadapan kenikmatan-kenikmatan duniawi. Jadi, memang benar, ajaran keugaharian ini dihadirkan untuk menjadi penawar atas keseharian yang banal.

Kini hampir tidak ada keseharian kita yang tanpa hura-hura. Semua seakan sudah menjadi tempat mengumbar nafsu dan amarah. Bukan hanya dalam ranah politik, melainkan juga dalam kehidupan beragama. Kita lihat saja, betapa banyak peristiwa kekerasan dan penganiyaan yang mengatasnamakan agama. Padahal, kita semua tahu, agama tidak pernah mengajarkan hal seperti itu.

Lalu, dari mana praktik kekerasan dan penganiyaan tersebut muncul? Banyak faktor sebenarnya. Namun, faktor paling dominan adalah adanya dogmatisme agama yang kemudian melahirkan klaim kebenaran satu-satunya.

Jika dogma dan klaim kebenaran satu-satunya dibiarkan, sungguh bahaya. Orang sering menganggap dirinya paling benar dan mengetahui segala hal sehingga orang lain yang berbeda dengannya dianggap sudah pasti salah dan menyimpang. Dan orang lain itu juga sudah pantas disingkirkan, bahkan dengan cara yang paling kejam.

Orang seperti itu sebenarnya menunjukkan bahwa dirinya tidak ugahari, tidak mengenal diri sendiri. Dia sok tahu, padahal belum tentu dia benar-benar tahu. Dia merasa paling benar, padahal belum tentu dia benar. Karena itu, Platon dengan dialog-dialog Socrates sebenarnya juga hendak menghilangkan borok dogmatisme dalam diri manusia.

Sejak awal, Socrates mengatakan kepada lawan wicaranya, Xarmides : “Tentu saja, Xarmides, seperti yang dikatakan banyak kalangan, orang yang tenang adalah orang yang ugahari (sophron). Marilah kita lihat apakah pernyataan ini ada nilainya”.

Disitu, Socrates mengajak Xarmides untuk uji pendapat yang diyakini secara dogmatis oleh banyak kalangan melalui jalan dialog dan penyanggahan (elegkhos). Itulah cara yang ditawarkan Platon untuk membongkar dogmatisme.

Dalam dogmatisme terdapat dorongan alogistikon yang memaksa manusia menuruti sifat mortal dan irasional, tetapi tidak berarti bahwa dorongan logistikon tanpa hasrat sama sekali. Logistikon dapat menderita sesuatu (pathos) juga melakukan sesuatu (ergon). Hasrat dalam dorongan logistikon tetap melibatkan proses berpikir yang rasional. Proses tersebut menghasilkan hasrat spesifik yang akan membimbing seseorang memutuskan perkara berdasarkan timbangan yang teliti.

Oleh karena logistikon mengandung sifat pathe yakni menderita sesuatu, dia dapat melakukan (ergon) melakukan sesuatu. Misalnya dengan menahan diri, orang menjadi peka terhadap penderitaan orang lain. Konteks inilah yang melatih jiwa sehingga berkemampuan menyingkap kebenaran di balik realitas yang tampak rutin dan wajar.

Masyarakat secara umum sebenarnya juga memerlukan sikap ugahari sebagai sebuah keutamaan yang pantas dihidupi. Fenomena hadirnya orang yang tidak tahu batasan dalam hidup menjadi keprihatinan masyarakat saat ini. Misalnya, para koruptor yang tidak merasa bersalah meski sudah mencuri uang rakyat.

Situasi semacam ini kenyataannya tidak hanya dialami oleh masyarakat zaman sekarang, melainkan juga oleh masyarakat zaman dahulu. Salah satu masa kekacauan itu adalah masa para filsuf awal di Yunani abad ke-4 SM. Setting dari cerita ini adalah Socrates, seorang yang mencoba mengusik masyarakat yang hidup dalam ketidakugaharian.

Ia terkenal dengan ungkapan, “aku tahu bahwa aku tidak tahu”. Socrates tidak pernah meninggalkan tulisan. Hanya, setelah kisah kematiannya, murid Socrates yaitu Platon (atau lebih dikenal sebagai Plato), membela gurunya sebagai orang yang benar. Melalui tulisannya, Platon membela pemikiran Socrates yang dihukum mati karena dianggap menyesatkan orang muda. []

Klik untuk komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 − 12 =

Ke Atas