Connect with us

Ahriesonta.id

Obrolan Soal Ekspresi Politik Masyarakat dan Dialektika Wacana

Ilustrasi obrolan politik. (Sumber: citizendaily.net)

Pemikiran

Obrolan Soal Ekspresi Politik Masyarakat dan Dialektika Wacana

Akhir-akhir ini kita menyaksikan banyak orang di sekitar kita menjadi begitu aktif mengekspresikan pilihan politik. Benar menjadi sangat subjektif, yang sejatinya sangat ditentukan sejauh dan sedalam apa informasi yang diterima.

Dalam suatu obrolan dengan kawan saya, topik ini pernah dikupas tuntas. Teman saya bilang bahwa bukan aspek informasi yang kini menstimulasi pilihan politik masyarakat, tetapi justru keyakinan indrawi atas figur-figur politisi. Mengacu pada credo ergo sum, saya yakin maka saya ada.

Pemikiran teman saya ini, sebenarnya sangat dipahami oleh para pakar marketing politik sebagai pembentukan citra. Oleh sebab itu, masing-masing politisi mengemas dirinya sedemikian rupa supaya mendekatkan figur dengan harapan keyakinan para pemilik suara (konstituen).

Sementara pendapat saya bisa dibilang konvensional, mengacu pada pemikiran Habermas tentang public sphere.

Public sphere dikonseptualisasi sebagai suatu realitas kehidupan sosial yang di dalamnya terdapat suatu proses pertukaran informasi yang berkenaan dengan persoalan bersama. Proses dialogis itu membentuk suatu pendapat umum.

Serangkaian pendapat umum inilah yang kemudian membentuk suatu pandangan umum, lalu dianggap sebagai kehendak mayoritas. Ujung dari penentuan pandangan ialah suatu tatanan yang dianggap ideal di masyarakat.

Karena itu, banyak polling berkala berseliweran menuju hari H kontestasi politik. Ya, memang hajatan demokrasi adalah sebuah kontestasi. Sementara itu, kolaborasi-cooperative bermakna sempit pada sebuah istilah khusus, yaitu koalisi.

Nah, polling-polling itulah yang menakar sejauh mana efektif tidaknya suatu ‘figur dan koalisi’ dari proses dialektika wacana. Bagi para kontestan politik, polling mencoba membangun simulasi. Ini memiliki suatu konsep tersendiri, terutama pada kondisi akhir yang didambakan: kemenangan.

Coba kita tafsirkan simulasi ini dalam terminologi Baudrillard. Saya kutipkan dari buku Aziz, M. Imam (2001) yang berjudul Galaksi Simulakra: Esai-Esai Jean Baudrillard.

Dalam hal simulasi, manusia mendiami suatu realitas, di mana perbedaan antara yang real (nyata) dan fantasi, antara asli dan palsu sangatlah tipis. Dunia-dunia tersebut dapat diibaratkan seperti Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverly Hills. Lewat media informasi, seperti iklan, televisi, dan film dunia simulasi tampil sempurna. Dunia simulasi itulah yang kemudian dapat dikatakan tidak lagi peduli dengan realitas atau kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi melebur menjadi satu dalam silang tanda. Di samping itu, tidak dapat lagi dikenal mana yang asli dan mana yang palsu. Semua itu pada akhirnya menjadi bagian realitas yang dijalani dan dihidupi masyarakat saat ini. Kesatuan inilah yang kemudian oleh Baudrilard disebut sebagai simulacra, yaitu sebuah dunia yang terbangun dari bercampurnya antara nilai, fakta, tanda, citra, dan kode.

Maka dari itu, ekspresi pilihan politik yang kini dengan mudah kita jumpai tak lain adalah suatu ilusi tentang harapan kebenaran atas pilihan yang telah ditentukannya lebih dini. Bagi para kontestatan politik, terbukanya ruang ekspresi pilihan adalah second opinion, apakah dirinya akan menang atau tidak. Apakah ia perlu meningkatkan investasinya pada aspek sosial, citra, atau justru militansi para pendukungnya.

Pertanyaanya, apakah dialektika wacana dapat menggeser pilihan politik seseorang? Sejauh mana reproduksi wacana bakal efektif memberikan dukungan politik kepada seorang peserta kontestan?

Tunggu jawabannya pada tulisan berikutnya…

Klik untuk komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 + 20 =

Ke Atas